Pernah suatu ketika seorang mahasiswa yang bapaknya warga negara Saudi dan ibunya Indonesia, sangat fasih berbahasa Indonesia, bercerita disela menunggu jadwal kuliah.
Hampir setiap tahun dia ke Jakarta dan kota-kota lain menghabiskan liburan musim panas di sana.
Suasana sangat akrab karena merasakan frekuensi yang sama pada saat komunikasi. Jelas dan lugas. Sama-sama paham situasi Jakarta dan Jeddah, masyarakat, lingkungan, budaya dan lainnya.
Saya bertanya: “Apa profesi orang tua (Bapak)?” Kemudian dia menjawab: “Bapak pegawai di Saudi Airlines.”
Saudi Airlines ini setara dengan Garuda Indonesia Airlines, badan usaha milik negara (BUMN).
Kemudian dia melanjutkan cerita kalau setiap tahun mendapat jatah tiket pesawat dari orang tuanya. Itulah bisa selalu jalan-jalan ke Jakarta, sampai fasih berbahasa Indonesia.
Mungkin ibunya sengaja “menerbangkan” anak ini ke Jakarta setiap tahun, selain menjaga warisan bahasa juga pandai mensyukuri apa yang telah didapat.
Karena yang disampaikan ditanggapi biasa saja, dia nyeletuk: “Tahu tidak kalau di sini pensiun BUMN termasuk pegawai negeri itu gajinya sama dengan gaji terakhir waktu masih aktif?”
Iya, gajinya tidak dikurangi, sama seperti waktu masih kerja walaupun sudah pensiun. Kali ini saya terkejut: “Gubrak, serius ini!” Dia pun menjawab: “Iya betul.”
Kemudian dia melanjutkan cerita kalau bapaknya sudah hampir pensiun, tapi tidak khawatir karena pendapatan tetap sama seperti masih aktif. Pensiun atau kerja, taraf hidup tetap sama, tidak berubah.
Dia bicara sambil cengar-cengir. Saya menduga dia cengar-cengir karena pikiran melayang ke pensiunan di kota yang setiap tahun dikunjunginya. Mungkin di sana ada kerabat ibunya yang banyak cerita.
Masyaa Allah Tabarakallah. Kehabisan kata. Baru dengar ada pensiunan diberikan remunerasi sama seperti remunerasi waktu masih aktif. Siapa yang tidak mau.
Usia pensiun di sini 60 tahun. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan jika fisik sehat.
Patutlah dekan di fakultas, beberapa kali meneruskan jabatan meskipun sudah pensiun. Ternyata kalau dosen pegawai negeri pensiun, setiap bulan akan mendapat gaji sama seperti gaji terakhir waktu masih aktif.
Sedangkan jika mau mengabdi dengan status profesor kontrak, akan diberikan tambahan gaji lagi seperti masa aktif. Jadi, profesor pensiun malah dapat dua kali gaji setiap bulan kalau masih mau bekerja.
Ini berlaku tidak hanya untuk dosen, tetapi semua pegawai negeri (pemerintah). Selain hukum yang ditegakkan, mungkin cara ini bisa mengurangi angka korupsi.
Salah satu motivasi korupsi adalah aji mumpung. Mumpung masih aktif bekerja (menjabat), mengumpulkan uang dengan cara yang tidak halal untuk bekal pensiun.
Sebab khawatir gaji turun drastis, taraf hidup pun berubah total. Tidak habis pikir bagaimana mereka mengelola negeri ini.
Wajarlah jika kita sebut negara ini Crazy Rich yang dermawan. Barakallahu fiikum.
#catatan_dari_kampus_tepian_laut_merah
Tulisan Prof. Anton Satria Prabuwono
