Perkenalkan, aku orang Indonesia yang tinggal di ibu kota Saudi Arabia, Riyadh. Banyak dari orang Indonesia yang mengira ibu kota Saudi adalah Jeddah, salah satunya aku di masa lalu. Di sini, aku belajar bahasa Arab selama 8 bulan dengan beasiswa di King Salman Global Academy for Arabic Language (KSAA) di Riyadh.
Aku berasal dari kota Medan, Sumatera Utara. Sebelum belajar di sini, aku adalah guru Bahasa Indonesia yang sudah hampir 6 tahun mengajar di sekolah-sekolah swasta. Di waktu luang, aku juga mengajar bahasa Inggris secara private.
Sedang di sini, di Saudi, baru-baru ini, aku mengajar bahasa Indonesia private ke teman Jepangku yang sangat tertarik dengan Indonesia. Aku rasa cukup secuil informasi pribadiku, aku akan menuliskan tentang hidupku di Saudi Arabia.
Semua orang memiliki mimpi dan keinginan dalam hidup. Namun, tidak semua orang bisa yakin untuk mewujudkan mimpinya. Bagiku, cara pertama untuk mewujudkan mimpi adalah dengan berdoa kepada Allah. Lalu dibarengi dengan usaha.
Terdengar klise, bukan? Namun, sudah aku rasakan bagaimana kekuatan doa bermain di dalam hidupku. Apa yang aku inginkan terwujud dan semua proses yang kuhadapi terasa mudah, yang jika dihitung dengan kalkulator manusia, itu mustahil terwujud. Allah, Tuhan yang tiada tandingan-Nya memiliki kalkulator-Nya (kuasa-Nya) sendiri.
Salah satu mimpi yang kuperjuangkan dengan doa adalah aku sangat ingin tinggal dan belajar bahasa Arab di Saudi Arabia. Mengapa? Karena bertahun-tahun lalu, aku telah membaca banyak hal-hal baik tentang Saudi atau mendengar hal-hal positif dari kajian-kajian yang disampaikan oleh para ustad yang telah belajar dan lama tinggal di negara dengan bendera berwarna hijau yang di dalamnya bertuliskan kalimat syahadat.
Juga, di sisi lain, aku sangat suka belajar bahasa. Apalagi bahasa yang ingin kupelajari adalah bahasa agamaku sendiri, bahasa di kitab suci Al-quran dan bahasa kelima yang paling banyak penuturnya di dunia.
Akhirnya, sampailah aku di Saudi Arabia lebih dari 3 bulan yang lalu. Aku bahkan masih merasa ini mimpi saat awal-awal permulaan hidupku di Saudi. Aku harus melihat keluar jendela bus untuk menyadarkanku bahwa aku sedang tidak di Indonesia.
Bangunan-bangunan Saudi yang unik dan cantik selalu menjadi sasaran penyadaranku yang terasa lucu ini. Aku bisa mengatakan, aku tidak merasa jauh dari rumah. Aku merasa Indonesia sangat dekat. Sebagian diriku mengatakan bahwa negara ini tidak asing dan nyaman bagiku. Tentu saja, yang sebagiannya lagi sangat merindukan siapapun dan apapun yang ada di Indonesia. Kerinduan tidak dapat dielakkan barang satu hari pun, kan?
Lalu, bagaimana hidupku di Saudi Arabia? Apakah menyenangkan atau justru sebaliknya? Satu hal yang harus kita ketahui dalam hidup ini sebagai orang yang beriman. Dimanapun kita berada, dengan siapapun kita bersama, Allah tidak akan berhenti menguji iman kita, karena rasa sayang-Nya pada hamba-Nya.
Namun, Allah juga tidak berhenti memberi nikmat-nikmat yang banyak dalam kehidupan kita. Jika, kita makan makanan yang manis terus. Apa yang akan timbul? Penyakit diabetes. Maka begitu jugalah kehidupan, ada masanya manis, asam, asin, pahit dan bahkan pedas. Jika tidak, maka hidup kita akan hampa. Kesenangan dan kesedihan yang aku rasakan saat belajar di luar negeri adalah nikmat yang seimbang.
Tentu selama tiga bulan berada di sini, banyak hal-hal baru yang aku alami. Terutama, musim dingin. Karena di Indonesia tidak ada musim ini dan aku datang ke sini saat mendekati musim itu.
Aku datang saat suhunya masih di atas 40 celcius. Namun, uniknya di sini aku tidak merasakan cuaca panas itu terlalu banyak. Baik itu di asrama atau di akademi, seluruh ruangan selalu dingin dengan AC, juga kami selalu pergi naik bus dan tentu saja di dalam bus terasa dingin.
Bahkan saat kami berkunjung ke pameran-pameran yang ada di sini, kami tidak akan merasakan hawa panas. Karena apapun di sini dibuat indoor di musim panas. Itulah yang membuat Saudi memiliki kehidupan malam. Eh, jangan salah tanggap dulu! Tentu, tidak sama maksudnya dengan kehidupan malam di Indonesia.
Karena hawa panas yang tak tertahankan, orang-orang di sini tidak menyukai aktivitas outdoor di siang hari. Contoh kecilnya berjalan kaki. Kendaraan umum di Saudi adalah mobil. Sepeda motor hanya bisa kita lihat sebagai pengantar makanan atau hobi yang mahal, bahkan dianggap hobi yang berbahaya.
Untuk itu, mereka suka aktivitas di malam hari. Karena tentu udaranya tidak sepanas saat siang. Terutama, di saat akhir pekan. Jalanan akan kamu jumpai sangat sepi di Jumat pagi. Namun, sebaliknya, saat malam hari, semakin larut waktunya makan semakin ramai. Lalu lintas yang padat sudah menjadi makanan sehari-hari di jalanan Riyadh.
Kembali ke musim dingin, karena kami tinggal di Riyadh, cuaca sangat kering di sini. Riyadh adalah kawasan gurun pasir dan tidak ada laut atau pantai di sini. Jadi, menemukan hidung yang berdarah, bibir dan mata, dan kulit yang kering adalah hal yang biasa. Ditambah lagi dengan pendingin atau pemanas ruangan yang mengakibatkan kulit semakin kering.
Untuk itu selalu sedia lotion kapanpun dan dimanapun saat kita berada di Riyadh. Aku bahkan harus merasakan perih di bibirku hanya untuk tersenyum menyapa orang-orang. Karena itu, aku selalu membiasakan untuk mengoleskan pelembab bibir di setiap waktu, hal yang bahkan hampir tidak pernah aku lakukan saat di Indonesia.
Musim boleh dingin, namun tidak dengan orang-orangnya di sini. Pernah suatu waktu, aku dan teman-teman Indonesiaku sedang menuju ke supermarket yang ada di dalam universitas (kami tinggal di universitas perempuan terbesar yang ada di dunia, yakni Princess Nourah University).
Jarak asrama ke supermarket cukup jauh, sekitar 4 kilometer. Biasanya kami pergi dengan bus ke supermarket di dalam atau di luar universitas. Kali ini, kami memilih di waktu kami sendiri dengan berjalan kaki. Karena ini pertama kalinya kami pergi, kami bingung dengan arah jalannya.
Di tengah jalan kami bertanya kepada seorang profesor perempuan dengan cadar dan abaya hitamnya, beliau sangat ramah menunjukkan jalan. Bahkan bukan hanya menunjukkannya. Beliau mengantar kami dengan ikut berjalan kaki sampai di depan supermarket. Itu jalan kaki yang tidak dekat.
Kami mengobrol dengan bahasa Arab fusha dan dicampur dengan bahasa Inggris di perjalanan. Kami ketahui beliau memiliki asisten rumah tangga dari Indonesia yang sudah belasan tahun bekerja di rumah beliau. Beliau bahkan menelpon si Ibu dan membiarkan kami mengobrol dengan bahasa Indonesia.
Di akhir perjalanan, beliau bahkan memberikan kami nama lengkap dan nomor handphonenya. Itu jalan kaki ke supermarket yang sangat berkesan bagi kami.
Sebenarnya, masih ada banyak lagi yang ingin aku kisahkan kepada siapapun yang membaca tuliskan ini. Aku harap, aku bisa menuliskannya di lembar yang lain.
Untuk menjadi penutup dari tulisanku ini, aku ingin menguatkan kembali tentang keyakinan dalam mewujudkan apa yang diinginkan. Apalagi, keinginan itu adalah sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita.
Sekali kita ragu bahwa kita bisa, kita hanya sedang merendahkan diri kita sendiri. Padahal, kemampuan kita sebenarnya bisa melampau jauh dan sangat jauh. Jadi, beranilah bermimpi dan perjuangkan mimpi itu dengan doa dan usaha!
Oleh: Aisyah Haura Dika Alsa