Tahun 2019, tahun Pemilu di Indonesia. Hiruk pikuk kampanye di dunia nyata dan maya tak terelakkan. Puluhan triliyunan rupiah dana dihabiskan.
Demokrasi dipercaya sebagai jalan terbaik memilih pemimpin dan sistem bernegara. Di dunia ini, jika anti demokrasi akan distigma negatif, atau bahkan diperangi.
Karena sudah menjadi ideologi, seperti cinta buta, “tai kucing rasa coklat.” Sepertinya tidak ada cara selainnya yang lebih baik.
Ada sebuah negeri, dipimpin seorang raja, juga ada dewan wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyatnya.
Raja, tentunya otoriter, yang punya tanah, air dan udara negara tersebut. Tetapi otoritariannya tidak menjadikannya zalim, tidak adil, dan sifat-sifat lain yang biasa terjadi di kepimpinan demokrasi umumnya.
Tanpa demokrasi, raja justru mengayomi rakyatnya, membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rakyatnya, rakyat yang belum memiliki hunian, diberi kesempatan memiliki rumah dengan program-programnya yang humanis.
Tidak ada pajak kendaraan, seperti yang baru akan digagas sebuah partai di Indonesia, jika calegnya terpilih. Harga sembako terjamin; murah dan stabil, tidak ada kartel atau mafia penimbun kebutuhan pokok rakyatnya. Dan yang katanya otoriter tanpa demokrasi tersebut, justru menegakkan hukum seadil-adilnya; tajam ke atas dan ke bawah.
Pernah puluhan pejabat tinggi, bahkan keluarga kerajaan di negaranya diperiksa, ditahan, hingga dijatuhi hukuman. Tidak lain, raja tersebut ingin membasmi korupsi top down, bukan bottom up.
Pangeran-pangeran keluarga kerajaan yang memiliki privilege lebih dari rakyat biasa, dikebiri beberapa hak istimewanya agar bisa hidup sederhana. Yang mungkin media asing tidak pernah kutip; keluarga kerajaan pun dipancung dihukum mati karena terbukti melanggar hukum.
Ketika rajanya meninggal dan harus diganti, tidak ada ramai-ramai pemilu, kampanye, yang justru menghambur-hamburkan uang dan membuka peluang melahirkan kebencian, perpecahan dan hal-hal negatif lain yang tidak terkira.
Raja meninggal di malam hari. Dini hari setelahnya, radio-radio, televisi dan media online langsung merilis pengangkatan raja baru. Tanpa ribet, senyap, damai, aman dan murah meriah.
Hari berikutnya diangkat menteri-menteri pembantunya dengan ba’iat (sumpah) agar setia membantu rajanya. Selang beberapa waktu kemudian, raja mengundang rakyat, tokoh-tokoh yang ditual dari kabilah, suku, keluarg raja, untuk meminta bai’at mereka.
Rakyatnya pun berduka sejenak karena raja terdahulunya meninggal kemudian bersuka cita telah diangkat raja baru. Tanpa dibayar, dengan keikhlasan, rakyat memajang foto-foto baru di gedung-gedung kantor, rumah, membuat hashtag di sosial media, semuanya kompak mengucapkan tahniah atas diangkatnya raja baru. Mereka bersumpah setia untuk mentaati raja dan aparaturnya yang ditunjuk.
Begitulah, sekelumit gambaran sebuah negara tanpa demokrasi ala kafir. Cukup dengan agama, semua bisa diatur; dari urusan cara tidur, berwudhu hatta mengelolah negara.
Hanya orang jahil atau phobia agama (Islam) yang selalu menganggungkan demokrasi.
Tahukah di mana negara yang tidak membutuhkan demokrasi yang diceritakan di atas? Ya, di negara yang berbendarakan lafadz tauhid, yang tidak ada sarjana hukumnya bekerja di pengadilan kecuali lulusan fakultas syariah; Arab Saudi.
*) ditulis oleh Abu Fakhri, WNI yang tinggal di Arab Saudi.