Seorang teman dari Hafar Al-Batin bercerita kepada saya, bahwa dia jatuh cinta kepada anak bibinya (sepupu), tetapi itu tidak ditakdirkan dapat mengarungi hidup berdua bersamanya. Yang dicintainya menikah pada tahun 1414 H.
Dia memulai kisahnya: Aku mencintai sepupu saya sejak kami masih anak-anak, dan ketika dia berusia 18 tahun, ayahnya berkata, “Khalaf, Fulanah sudah punya banyak pelamarnya. Apakah kamu siap?”
“Kamu lihat si Fulan juga telah melamarnya, atau si Fulan dari jama’ah bapaknya, dia kaya raya, tinggal di Riyadh. Apakah sudah kamu siap? Kalau tidak, jangan halangi takdir gadismu!” sambungnya.
Kata-kata yang mengguncang keberadaanku dan membuatku merasa lemah dan tak berdaya, suatu hal yang belum pernah kurasakan sejak ibuku melahirkanku.
Tahun terakhirku di universitas, kemiskinan mengelilingiku dari segala sisi. Aku tak punya ayah, ibu, paman, dan tak punya kerabat yang menafkahiku.
Aku bilang aku akan lulus dalam dua bulan, dan InsyaAllah aku mau memperbaiki keadaanku.
Ayahnya kemudian berkomentar: “Malam yang panjang Khalaf…!!! Setelah dua bulan, sayangnya pernikahan itu terjadi…!!!
Merupakan adat istiadat masyarakat Hafar al-Bathin, didirikan tenda di depan rumah keluarga mempelai wanita untuk pengantin dan para tamu yang datang, dan itulah yang dilakukan Abu Habibatii.
Pada hari pernikahan, aku hadir, tetapi sayangnya aku tidak pulang lebih awal. Aku menetap setelah makan malam, padahal aku berharap tidak melakukan hal itu, di mana aku melihat suatu pemandangan yang aku anggap sebagai penyebab penyakit kronisku!
Kemudian, aku melihat kekasihku dalam balutan gaun pengantin putih keluar dari rumah ayahnya, sambil menggenggam tangan mempelai pria yang membuka pintu Mercedesnya, masuk ke dalam mobil dan menutup pintu, kebahagiaannya terlihat jelas.
Di momen ini aku ikut terpengaruh dan membayangkan situasi tersebut dan dampak dari kisah tersebut merasuki diriku!
Aku merasakan sakit yang menjalar ke punggung dan perutku terasa sakit sehingga aku tidak dapat bernapas, ada sensasi terbakar di perutku, sampai-sampai aku ingin muntah.
Pernikahan orang yang aku cintai, cinta dari masa kecil, terutama jika dia adalah masih kerabat, dianggap sebagai salah satu guncangan paling kuat yang mungkin dialami seorang pria sepanjang hidupnya.
Dan aku teringat kata penyair: “Perpisahanku dengan kekasihku adalah penjara dan kerinduanku adalah rantainya # Malam pernikahanmu adalah surat kematianku.”
== selesai ==
Banyak netizen yang membaca kisah di atas berkomentar: “tayyib wa ba’din?” “Baik, terus kemudian gimana?” باقي شي والا خلاص? Masih ada lanjutannya atau selesai kisahnya?
*) Diterjemahkan dari cuitan Muhammad Ruwaili, netizen Saudi.