Umrah Ramadan oleh: Umrah Ramadan Bilboard Dekstop
promo: Umrah Ramadan Bilboard Dekstop

Menjawab Mahfud MD Tentang Nilai “Wahabi-Salafi”

Menjawab Mahfud MD Tentang Nilai “Wahabi-Salafi”

Sangat mengherankan seorang Mahfudz yang bergelar “profesor” tetapi awam istilah “wahabi” dan “salafi.” Tetapi dapat dimaklumi karena kepakarannya bukan di bidang madzahib atau firaq Islamiyah, meski pernah belajar Sastra Arab.

Dari sisi bahasa dan istilah, kedua term tersebut tidak mungkin disandingkan. Menariknya, dalam laporan cnnindonesia, “wahabi” didefinisikan sebagai pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang berpegang teguh pada purifikasi atau pemulihan Islam ke bentuk asli sesuai teks Al-Qur’an dan Hadits.

BACA: Wahabi: Antara Ada dan Tiada

Promo

Sedangkan “salafi,” dalam tulisan yang sama, dikaitkan dengan paham yang mencoba memurnikan kembali ajaran yang dibawa Rasulullah dan perintah Al-Qur’an secara literal. Kedua paham ini menganut mazhab Ahmad bin Hambal atau Hambali, simpul cnnindonesia.

BACA: Raja Salman Menjawab Tuduhan Penceramah Salafi Yang Dituduh Radikal

Berpijak dari definisi tersebut, Mafudz menganggap “enggak cocok di kita [Indonesia].” Kemudian dia membenturkan dengan ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, “Jangan sampai NU dan Muhammadiyah kehilangan masjid-masjid dan tempat peribadatan yang sudah kita bangun dengan wasatiyah Islami selama ini,” kata dia.

Menurut Mahfud, dua paham itu lebih cocok jika berkembang di luar Indonesia atau daerah asalnya. Dan telah menjadi rahasia umum, yang dimaksud adalah Arab Saudi.

Arab Saudi dan Wasatiyah

Jika Mahfudz menebar jargon wasatiyah, maka ketahuilah bahwa sejak awal berdirinya Arab Saudi telah menegakkan paham tersebut dan menjalankannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ini sebagaimana yang disampaikan Pangeran Khalid al-Faishal, Gubernur Makkah al-Mukkaramah, bahwa manhaju i’tidal su’udy, i’tidal dalam artian konsisten dengan sikap adil dan seimbang.

Menurut Pangeran Khalid “ini merupakan praktek dari firman Allah azza wa jallá :’wa ja’alnaakum ummatan wasathon.’ Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan washat dengan al-‘adlu atau adil.”

BACA: Manhaj I’tidal Su’udy (Saudi Moderation Progress)

Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS) pun menegaskan, Arab Saudi bukan negara yang seperti selama ini distigma sebagai penyubur ajaran ekstrim, anti wasatiyah.

Promo

MBS menanggap bahwa yang pernah terjadi di Arab Saudi adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) membajak dan mengubah pandangan agama menjadi sesuatu yang baru untuk kepentingan mereka sendiri.

Sehingga, menurut MBS, “Tulisan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab telah digunakan oleh banyak ekstremis untuk agenda mereka sendiri. Tapi saya yakin jika Muhammad bin Abdul Wahab, Bin Baz, dan lainnya masih hidup hari ini, mereka akan menjadi orang pertama yang melawan ide-ide ekstremis dan kelompok teroris ini.”

BACA: MBS: Ikhwanul Muslimin Berperan Besar Dalam Menciptakan Ekstremisme

Sejalan dengan itu, muktamar terakhir Haiyah Amr bil Ma’ruf wa Nahyi ‘anil Munkar Arab Saudi juga dengan tegas merekomendasikan dan menyeru kepada para dai agar menunjukkan kesungguhannya dalam menjelaskan metode salaf dan pengaruhnya dalam ‘itidal dan washatiyah.

Di antaranya dengan menulis istilah-istilah dan konsep-konsep yang terkait dengan al-amr bil ma’ruf an-nahi anil munkar dan memberikan koreksi, seperti dalam konsep mencegah kemunkaran, mengubah, dan menghilangkannya.

BACA: Rekomendasi Muktamar Kedua “Pendekatan Manhaj Salaf Dalam al-amr bil ma’ruf an-nahi anil munkar dan Peran Kerajaan Arab Saudi Dalam Menguatkannya”

Di pusat keilmuan Islam, Universitas Islam Madinah (UIM) yang berasaskan manhaj salaf juga telah diakui tokoh dan ulama dunia yang tergabung dalam Dewan Musytasyar, sejak awal berdirinya.

UIM yang dengan tegas menyatakan “mengikuti Al-Quran dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih,” bahkan terus memerangi bahaya pemikiran ekstrim yang tidak wasatiyah, seperti kelompok IM.

BACA: Bantahan Universitas Islam Madinah di Atas Lintas Manhaj

Dalam perjalanan memerangi kelompok yang anti wasatiyah, Kerajaan Arab Saudi tidak pernah ragu memberangus paham-paham esktrim yang bertentangan dengan prinsip-prinsi dasar agama Islam.

Mulai dari mencabut kewarganegaraan, mengeksekusi, hingga merilis kelompok atau organisasi yang melawan paham wasitiyah di Arab Saudi.

BACA: Kegagalan Tuduhan Negara Sarang Teroris Untuk Arab Saudi

Tidak heran jika Duta Besar Republik Indonesia periode sebelumnya, Agus Maftuh Abegebriel, mengungkapkan dalam poin keempat “Risalah Mahabbah” kepada Arab Saudi; “Akan selalu mendukung Arab Saudi dalam penguatan nilai-nilai “Islam Wasathi” (moderat) yang i’tidal dan tasamuh.”

Agus menyampaikannya setelah memastikan “pesan cinta untuk penguatan hubungan bilateral dan relasi persaudaraan antara Saudi dan Indonesia.”

BACA: “Risalah Mahabbah” Dubes RI Untuk Arab Saudi

Tidak mengherankan, jika Mufti Mufti Bosnia dan Herzegovina Dr Musthafa Ibrahim Ceric mengungkapkan “Arab Saudi adalah ‘amanah’ bagi kita semua. Oleh karenanya propaganda yang menyerang Saudi pada akhir-akhir ini, tidak akan berhasil dan akan terus mereka lakukan (untuk memojokkan Saudi).”

BACA: Testimoni Mufti Bosnia dan Herzegovina Terhadap Arab Saudi

Dan yang terbaru, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, memberikan gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada Menteri Urusan Islam, Dakwah, dan Penyuluhan Arab Saudi, Syaikh Abdullatif bin Abdulaziz Al Syaikh, sebagai pengakuan atas upaya penyebaran Islam Wasathiyah.

Sanjungan dan pujian dialamatkan kepada Syaikh Abdullatif, sekaligus mengapresiasi kepeminpinan Raja Salman di Arab Saudi yang sangat progresif, inovatif, tegas dan memiliki kebijakan yang mengedepankan ajaran Islam yang ramah, menebarkan kedamaian, Islam wasathiyah.

Jadi, inilah di antara bentuk nyata dan fakta bagaimana mengukur wasatiyah, bukan sekedar klaim dan tuduhan semata.

Fitnah “Wahabi-Salafi”

Oleh karenanya, sangat mengherankan jika Mahfudz menganggap tudingan “wahabi” dan “salafi” hanya lebih cocok di luar Indonesia atau daerah asalnya, yaitu Arab Saudi.

Padahal nilai-nilai dan kearifan lokal Nusantara sejalan sepadan dengan keluhuran “wahabi-salafi” yang ditunjukkan dalam pengalaman dan kebijakan Arab Saudi.

Pendapat Mahfudz seperti di atas, tidak lebih sebagai bagian dari korban propaganda kelompok yang menyalahartikan “wahabi-salafi.”

Sebagaimana juga cnnindonesia kembali menukil pendapat Ketua PBNU terdahulu, yang menuduh wahabi dan salafi sebagai pintu masuk terorisme.

BACA: Wahabi dan Salafi Dianggap Sebagai Pintu Masuk Terorisme

Buya Hamka dalam buku “Teguran Suci dan Jujur Terhadap Mufti Johor” mengurai dari mana asal fitnah tersebut. “Memang, apabila orang telah kehabisan hujah dan alasan, merekapun kembali memakai fitnah. Dan inilah yang menyebabkan umat Islam berpecah belah, berkaum tua dan berkaum muda,” jelas Hamka.

BACA: Gerakan Wahabi Di Indonesia: Penggerak Anti Penjajahan
BACA: Stigma Wahabi-Khawarij Sejak Era Daulah Utsmaniyah

Dalam sejarahnya, Imam Al-Lakhmi (wafat tahun 478 H) pernah menjawab sebuah pertanyaan: “Firqah Wahabiyyah adalah firqah khawarij yang sesat.” Tetapi apa yang dimaksudkan oleh Al-Lakhmi bukan ditujukan kepada dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Tetapi Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Karena Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H.

BACA: Wahabi Sesat, Wahabi yang Mana?

Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub rahimahullahu pun menjadi saksi, bahwa “wahabi-salafi” jika ditudingkan kepada pemahaman agama di Arab Saudi, pastinya beliau tidak akan menemukan keakraban dan mendapatkan semua kebaikan selama menuntut ilmu 9 tahun di Riyadh.

KH Ali juga memberi permisalan, seandainya “wahabi-salafi” sebagai benih dan pintu masuk terorisme, bagaimana mungkin kaum muslimin selama ini ke Mekkah dan Madinah selalu aman dan nyaman menunaikan ibadah umrah dan hajinya?

Pendapat Mahfud yang menggambarkan seolah-olah Muhammadiyah terancam oleh “wahabi-salafi” bertabrakan dengan pendapat Prof. Yudian Wahyudi, Ph.D, peneliti yang fokus kepada tema wahabisme.

Dalam penelitiannya, justru Muhammadiyah dianggap sebagai gerakan “wahabi” di Indonesia. Karena semua organisasi dan kelompok yang tidak tahlilan atau barzanji dikelompokkan sebagai wahabi yang membahayakan NKRI.

Jadi, sebenarnya diperlukan mendefinisikan dulu yang tepat dan ilmiah, apa itu “wahabi-salafi,” daripada hanya berkoar wasatiyah dan berhalusinasi atas ancamannya.[]