Siang itu cuaca Kota Jeddah di luar cukup panas. Seperti biasa aku bersiap bekerja untuk pergi ke rumah majikan.
Terdengar pesan WhatsApp masuk, tapi belum sempat aku buka. Sesampainya di rumah majikan aku langsung bergegas melakukan pekerjaan yang sudah rutin dikerjakan.
Disela jam istirahat, aku sempatkan membuka HP, ternyata pesan itu dari anak semata wayangku, Khairunisa.
Bait demi bait perlahan aku baca isi pesan tersebut, tak terasa air mata ini mengalir deras. Tak kuat rasanya hati ini membacanya. Rupanya anak yang kutinggalkan saat usia 3 tahun kini sudah cukup dewasa.
Khairunisa, anakku! saat ini yang kamu tahu mamah tidak ada di sisimu. Tapi ketahuilah Anakku, bahwa apa yang Ibu lakukan semata-mata untukmu.
Mamah sadar betul bahwa telah banyak melewatkan momen penting dan berharga bersamamu. Maafkan mamah.
Bukan Nak, ini bukan hanya soal materi.
Mamah ingin kamu tahu, bahwa menjadi seorang wanita single parent tidaklah mudah untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Ketahuilah anakku, tidak ada Ibu yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Sesungguhnya mamah hanya ingin kamu bernasib lebih baik daripada orangtuamu.
Setiap ibu di dunia ini tentu ingin merawat anaknya, membesarkan dengan belaian kasih sayang. Mengajari anaknya menghitung, mengaji dan mengantar ke sekolah.
Tapi nak, irisan takdir seseorang berbeda, mungkin ini sudah jalan mamah dan kamu harus terpisah untuk sementara.
Seperti pesan yang ditulis Bu guru di buku itu, Khairunisa anakku, jadilah anak yang berbakti pada kedua orang tua dan kakek nenek yang selama ini menjagamu.
Mamah yakin kamu anak yang kuat dan cerdas, bisa melewati ini semua. Percayalah nak, skenario Tuhan akan indah pada waktunya untuk kita berdua.
Puteriku, Kehadiranmu adalah kebahagiaan mamah.
Neng adalah cahaya mamah, seperti udara yang begitu segar,
sungai jernih yang menenangkan dan
telaga sejuk yang mendamaikan.
Saat teringat neng,
sekeras apapun kehidupan ini,
Tiba-tiba aku menjadi seorang Ibu yang kuat.
Jeddah 7 September