Mereka selalu menuduh Arab Saudi ikut serta menginvasi Irak dan yang memfasilitasi Amerika. Di antaranya mencampurkan dua periode waktu yang berbeda.
Antara invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 dan kedatangan Amerika yang menginvasi Irak untuk menggulingkan Saddam Husein pada tahun 2003.
Invasi Irak ke Kuwait merupakan kesalahan bersejarah yang dibuat oleh Saddam pada tahun 1990. Melalui mediasi, negara-negara Arab di wilayah tersebut, yang dipimpin oleh Arab Saudi, menuntut agar Saddam dan tentaranya mundur dari Kuwait.
Tetapi ketegangan berlanjut selama beberapa bulan tanpa ada kesepakatan. Sebaliknya, Irak terus menargetkan semua negara tetangganya dengan rudalnya, hingga akhirnya sekutu masuk dengan dukungan Saudi untuk mengakhiri ancaman Irak.
Pasukan Amerika, Saudi, Mesir dan Suriah berpartisipasi sebagai aksi bersama untuk menghadang tentara Irak yang menolak mundur dari Kuwait.
Akhirnya pertempuran berakhir, tentara Irak mundur. Rakyat serta pemerintah Kuwait kembali ke negaranya dan Amerika meninggalkan Timur Tengah, kecuali mempertahankan sejumlah kecil tentara mereka di Kuwait.
Tahun berlalu, sementara para ahli dan analis memperkirakan bahwa akan terjadi invasi militer ke Irak.
Terutama paska maraknya terorisme di wilayah tersebut pada pertengahan tahun 90an dan kejadian serangan 9/11 di New York. Yang paling serius, tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal yang dikembangkan para ahli di Irak.
Arab Saudi, diwakili oleh Menteri Luar Negeri Saud al-Faisal, berusaha mendiskusikan tentang niat Amerika menyerang Irak dan menentangnya sejak awal, di depan Amerika maupun dunia.
Menlu Saud menjelaskan bahwa rezim di Irak bisa digulingkan dengan cara lain, bahkan melalui mediasi. Untuk ide menginvasi Irak, maka Arab Saudi tidak akan berpartisipasi di dalamnya.
Pada Konferensi Pers di Aljazair, tahun 2002, Saud Al-Faisal menegaskan bahwa Arab Saudi menentang serangan militer apa pun dan berupaya menyelesaikan masalah secara diplomasi.
Dalam kesempatan itu pula, Saudi menyatakan tidak akan pernah mengizinkan tanah dan wilayah udaranya digunakan dalam perang melawan Irak.
BACA: Rilis Kuwait News Agency, Terkait Sikap Arab Saudi Terhadap Irak
Presiden Mesir, Hosni Mubarak, berdiri bersama Arab Saudi dan meminta Dewan Keamanan PBB dan sekutu untuk menghentikan invasi karena akan menghancurkan Irak sepenuhnya.
Inilah yang diserukan oleh Mesir dan Arab Saudi, kedua negara besar Arab tersebut menuntut solusi diplomatik melawan rezim Baath (partai yang berkuasa di Irak).
BACA: Berita koran Al-Riyadh “Mesir dan Masalah Keamanan di Teluk”
Jadi negara mana di kawasan Timur Tengah yang membuka tanah dan wilayah udaranya untuk menampung tentara Amerika dan setelah itu menginvasi Irak tahun 2003?
Mereka adalah Kuwait, Qatar, Yordania dan Turki.
Penjelasan bagaimana Irak diinvasi perlu diungkap, agar menjadi bukti sejarah bagi generasi mendatang. Sekaligus, membantah penyesatan mesin media yang selalu menuduh Arab Saudi sebagai dalangnya.
Posisi Turki, sebagaimana kata Erdogan: “Negara kami siap untuk berpartisipasi dalam invasi Amerika ke Irak dan menganggapnya sebagai salah satu kepentingan Turki.”
Pernyataan di atas, bukan dari media lawan Erdogan, melainkan dari arsip Qatar Al Jazeera, media yang selama ini dikenal menyuarakan kepentingannya.
BACA: Erdogan: Kepentingan Turki mengharuskannya untuk berpartisipasi dalam perang
Pertanyaannya adalah bagaimana dan di mana Amerika Serikat masuk ke Irak pada tahun 2003 secara rinci?
- Dari darat melalui Pangkalan Al-Salem, Kuwait.
- Dari udara dan pasukan terjun payung, dari Incirlik Base, Turki.
- Serangan udara dari arah selatan, dari Pangkalan Al Udeid, Qatar.
- Pendaratan pasukan parasut dari barat, dari perbatasan Yordania
Dengan cara ini, mereka melahap Irak dari semua sisi dan Republik Syiah Iran berkontribusi dari bagian belakang sebagai pintu masuk tank Amerika.
Saksikan video ini:
Bagaimana dengan Arab Saudi? Banyak laporan berita, artikel dan analisa yang ditulis terkait invasi AS ke Irak tahun 2003.
Dan arsip Al-Jazeera di antaranya, yang diterbitkan tiga hari setelah invasi AS ke Irak.
Laporan tersebut membuktikan bahwa Saudi secara terbuka dan posisi tegas menyatakan menolak perang, sebagaimana proposal yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Pangeran Saud Al-Faisal untuk menghentikan perang di Irak.
Sengaja dikutipkan dari media yang menjadi rujukan kelompok yang selalu menuduh Arab Saudi sebagai dalang kejatuhan Saddam Husein.
BACA: Sikap Negara-negara Arab Terhadap Irak
Akhirnya, pemaparan sejarah ini bukan untuk mencemarkan nama baik negara manapun, Tetapi untuk mengungkap kenyataan kontemporer yang terdistorsi dan harus dipelajari dari generasi ke generasi.
Terutama seperti yang kita lihat beberapa anak yang lahir setelah tahun 2000, mereka kebanyakan mengonsumsi media bias, framing dan penuh propaganda anti Arab Saudi.
Dan propaganda ini diadopsi oleh Ikhwanul Muslimin, yang berpusat di Mesir, sehingga berhasil mengalihkan pandangan dunia dari apa yang dilakukan oleh pendukung mereka, Erdogan.[Columbuos]