Saya merasa terhormat dapat berpartisipasi dalam diskusi panel virtual yang diadakan Pusat Penelitian dan Komunikasi Pengetahuan, di mana Duta Besar Palestina Bassem Al-Agha dan Dr. Ali Al-Khushayban ikut berpartisipasi.
Seminar ini dilatarbelakangi dukungan Kerajaan Arab Saudi untuk Palestina dalam menghadapi virus Corona. Di antaranya penyediaan alat kesehatan untuk memerangi virus dan mengurangi efek serta risiko kepada rakyat Palestina.
Sambil mempersiapkan artikel, saya mengeksplorasi sejarah Arab Saudi dari masa pendirinya, Raja Abdulaziz, sejak awal kali Arab Saudi terlibat dalam masalah Palestina.
Dari akar masalah tersebut, permasalahan Palestina kini tertanam dalam hati Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman.
Saya merujuk ke tiga buku, yang pertama adalah buku المملكة العربية السعودية وقضية فلسطين, “Kerajaan Arab Saudi dan Isu Palestina, Antara 1357 H (1939 M) dan 1368 H (1948 M),” ditulis oleh Aisya Al-Misnad.
Dua buku lainnya adalah; خمسون عامًا في جزيرة العرب “Lima Puluh Tahun di Semenanjung Arab,” ditulis oleh Hafiz Wahba, dan شبه الجزيرة في عهد الملك عبدالعزيز, “Semenanjung Arab Pada Masa Pemerintahan Raja Abdulaziz,” ditulis oleh Khair al-Din al-Zarkali.
Buku pertama banyak membahas upaya kerajaan Arab Saudi untuk mendukung masalah Palestina di tingkat Arab. Seperti upaya Raja Abdulaziz menyatukan front Arab, dukungannya untuk revolusi Arab di Palestina, partisipasi negaranya dalam konferensi Arab, diskusi Arab-Amerika mengenai masalah ini, peran Arab Saudi dalam perang 1948, dan partisipasi pasukan angkatan bersenjata Saudi dalam perang, serta posisinya pada perjanjian gencatan senjata.
Raja Abdulaziz adalah seorang pemimpin yang berpengalaman yang banyak memberi inspirasi, menyadari kenyataan dengan baik dan visioner.
Sejak pecahnya Perang Dunia Pertama, ia menyeru bahwa para pangeran di Semenanjung Arab pada waktu itu, agar bersatu dan bersama-sama untuk memutuskan bagaimana menghindari dampak perang tersebut, yang akan menjadi inti bagi aksesi para penguasa Arab lainnya.
Raja Abdulaziz menulis kepada tiga pangeran di negeri tetangganya; Ibn Rashid, Al-Sharif Hussein, dan Amir Kuwait. Lalu juga kepada Amir ‘Asir, meski ada perselisihan di antara mereka.
Dia menulis kepada mereka: “Anda pasti telah belajar tentang perang. Saya melihat bahwa kita harus bersama untuk mempelajari dan bersepakat, agar kita dapat menyelamatkan orang-orang Arab dari dampak perang tersebut.”
Dan saat awal Raja Abdulaziz melihat bahaya yang mengancam Palestina di kemudian hari, maka ia menyerukan untuk pembentukan sebuah komite Arab.
Misinya tiga, yaitu menyelamatkan Palestina dari bahaya yang mengancamnya, menyatukan langkah negara-negara Arab, dan menghilangkan perbedaan yang ada di antara pemerintah Arab.
Setelah itu, Arab Saudi mengalami krisis dan masa sulit. Krisis ekonomi mencapai tingkat yang paling parah.
Pada saat itu zionisme global ingin mengambil keuntungan dari situasi tersebut, dengan menawarkan bantuan untuk meringankan krisis keuangan dan ekonomi yang sedang dialami.
Ini mengingatkan kita pada kisah negosiasi Zionis Herzl dengan Sultan Ottoman Abdul Hamid II, yaitu memberikan tanah air bagi Yahudi dengan imbalan 20 juta Lira.
Tetapi di sinilah ada perbedaan yang jelas dan signifikan antara kedua kisah sejarah tersebut.
Saat Abdul Hamid II mempersilahkan Herzl menemuinya lebih dari sekali, melakukan tawar-menawar, dan dia menikmati kesenangan.
Tetapi, Raja Abdulaziz tidak seperti itu, dia menolak tegas untuk bertemu dengan Zionis, Chaim Azriel Weizmann.
Tekanan Zionis pada tahun 1943 mencapai puncaknya terhadap politik Amerika. Saat itu Presiden Amerika, Roosevelt, mengirim Howard Hoskins membawa pesan khusus kepada Raja Abdulaziz.
Tugasnya, mencari solusi masalah Palestina agar dapat diterima oleh Arab dan Yahudi, sekaligus meminta Raja Abdulaziz untuk dapat menerima kunjungan Weizmann.
Raja Abdulaziz secara terbuka menanggapi utusan Amerika, Hoskins; menolak untuk bertemu Weizmann, dan berkata:
“Orang ini, antara saya dan dia, ada permusuhan khusus; sebagaimana dia telah lakukan kejahatan sendiri dengan mengarahkan saya tanpa melibatkan seluruh Arab dan umat Islam sebagai tanggung jawab agama bersama, agar saya berkhianat terhadap agama dan negara.
Dia mengutus kepada saya orang Eropa terkenal yang meminta saya meninggalkan masalah Palestina dan tidak mendukung hak-hak orang Arab dan Muslim di sana.
Dia menawari saya agar menerima 20 juta pound sebagai imbalan untuk itu dan uang tersebut dijamin oleh Presiden Roosevelt langsung.
Apakah ada kejahatan atau penghinaan yang lebih besar dari pada ini?
Apakah ada kejahatan yang lebih besar dari kejahatan yang berani dilakukan orang ini sebagai mandat yang akan memuliakan pemimpin yang menjamin dari hal yang begitu rendah?!”
Inilah prinsip dasar Kerajaan Arab Saudi yang tetap dan berkesinambungan dalam masalah Palestina.[]
*) Diterjemahkan dari artikel فلسطين في قلب الملك سلمان وولي عهده, tulisan عبدالواحد الأنصاري, dimuat di harian Al-Riyadh, 9 Mei 2020.