Meningkatnya eskalasi di Palestina, memunculkan perdebatan lama terkait Hamas, Harakat al-Muqawamah al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam).
Kelompok pengkritik dan anti Hamas diidentikkan sebagai pendukung negara Arab. Konon Arab Saudi mengelompokkan Hamas sebagai organisasi teroris, tetapi tidak pernah ada buktinya kecuali pemelintiran fatwa Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh.
Karenanya, Saudi menjadi sasaran oleh pendukung Hamas, ketika pengkritiknya menuding Hamas pro Syiah; “Jika Saudi-Amerika boleh menjalin kerja sama, kenapa Hamas dipermasalahkan dengan iran?”
Menurut logika ini, Iran sebagai penyuplai rudal balistik ke Houtsi Yaman untuk menyerang Makkah disamakan dengan AS yang tidak pernah mengirim rudal atau teroris untuk berbuat makar ke kota suci Mekah.
Bukan itu saja, catatan sejarah dan fakta membuktikan, biang kerok hancurnya negara-negara Arab tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Syiah Iran melalui proxy-nya. Permusuhan abadi majusi-syiah kepada kaum muslimin.
AS, bagi pendukung Hamas dianggap “bapak pelindung” musuh umat Islam; Yahudi Israel. Oleh karenanya, berkawan dengan AS berarti membela Israel atau setidaknya jawaban agar tidak menyalahkan pihak lain berhubungan dengan Iran.
Perbandingan ini tidak menimbang bahwa kerja sama Saudi-AS, tidak pernah sampai menggadaikan akidah. Jika yang dipermasalahkan tarian pedang dan pengalungan bunga saat Presiden AS bertamu, bagaimana menempatkan hadits perintah ikramud dhuyuf?
Sementara bekerja sama dengan Iran, sampai pada taraf bertarahum atas tokoh Syiah penjagal Ahlu Sunnah, bahkan menyematkan salah satu jenderal pembantai kaum muslimin di Suriah dan Irak, sebagai “Syahid al-Quds.” Ini sudah masuk masalah akidah.
Tetapi tetap saja Saudi dianggap lebih buruk, karena melakukan bisnis senjata dengan AS.
Padahal apa yang dibeli dari AS untuk menjaga Haramaian, dua kota suci yang sering dilupakan netizen meski ratusan kali diserang syiah Houtsi, kalah gemuruh dengan al-Quds. Apakah karena sebagai respon karena Saudi menyerang Yaman, sebagaimana tudingan Erdogan?
Kerjasama militer Arab Saudi pun bukan hanya dengan AS, tetapi juga Rusia, Cina, bahkan hubungan dengan Pakistan, yang memiliki sejarah panjang. Tetapi yang dibidik hanya AS, demi mengaitkannya dengan Israel.
Jika efek domino demikian, maka media sosial yang selama ini digunakan untuk menyebarkan semangat perjuangan Palestina, bukankah dari AS juga? Apakah pengguna platform tersebut turut mendukung Zionis Israel?
Begitu pula keanggotaan Turki di NATO, pimpinan Amerika. Belum lagi, Qatar penyandang dana Hamas, sudah ma’ruf kedekatannya dengan AS. Apakah mereka tidak dianggap berhubungan dengan AS lebih buruk dari Saudi?
Ternyata tidak, standar ganda digunakan dalam hal ini. Setelah puluhan tahun Saudi membantu Palestina tanpa gaduh, kini dituntut mengirim pasukan, senjata, bertempur di garda terdepat melawan Zionis Yahudi.
Padahal, selama ini yang dielu-elukan sebagai pemimpin pembebas Al-Quds adalah Erdogan, Pimpinan Hamas dan Emir Qatar, sebagaimana foto mereka dipajang besar di baliho jalanan Gaza.
Sementara foto Raja Salman dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman, dibakar, dirobek dan diinjak-injak, sama sekali tidak diharapkan menjadi pembebas Palestina. Tetapi netizen pro Hamas mengapa kini menuntut ke Saudi?
Kondisi tersebut menjadi wajar, jika mengikuti gerak-gerik Hamas, yang erat terkait kuat dengan Syi’ah Iran. Bahkan tidak diragukan banyak prinsip perjuangan Hamas yang diadopsi dari ajaran Syi’ah.
Perhatikan bagaimana pujian petinggi Hamas, Khaleed Meshaal, ketika bertemu Hassan Khomeini. Meshaal menyatakan “Hamas adalah anak spiritual Imam Khomeini.”
Hal ini mendapat afirmasi dari tokoh Syi’ah tentang Ikhwanul Muslimin (IM) yang merupakan ibu kandung Hamas.
Navvab Safavi yang juga penggagas Fedayeen Islam Iran, cikal bakal milisi Syi’ah, berkata: “Siapapun yang ingin menjadi Jafari (Syi’ah) yang ta’at, maka ia harus bergabung dengan ikhwanul muslimin.”
Para ulama mengkritik Hamas bukan karena khudzlan dan membiarkan Palestina berjuang sendiri, tetapi agar perjuangan tersebut berhasil.
Karena pola perjuangan Hamas, selalu sama dan terulang; memaksakan konfrontasi saat belum mampu. Akhirnya bisa membunuh segelintir musuh, tapi korban dari umat Islam selalu berlipat jumlahnya. Terus terulang seperti itu.
Jika sudah diserang, tentu harus bertahan semampunya. Tapi sebelum diserang, ada opsi untuk tidak konfrontasi jika memang masih lemah. Realistis, seperti di fase Makkah.
Prof. Nayif Al-Waqa, Akademisi dan Peneliti Timur Tengah, saat diwawancarai stasiun televisi 24 Saudi, mengatakan:
“Yang paling merasakan mafaat dari yang terjadi saat ini di Palestina adalah Israel, karena Hamas tidak memiliki strategi untuk memanfaatkan hasil pertempuran ini.”
Dia juga mengatakan bahwa ada kepentingan Iran dengan senjatanya yang digunakan Hamas, untuk menaikkan bargaining di dunia internasional.[]
*) Ditulis oleh Abdullah, dirangkum dari berbagai sumber.