Bagaimana sebenarnya Saudi memandang prilaku seks menyimpang dan publikasi yang bertentangan dengan budaya, adat tradisi masyarakat Arab dan syari’at Islam?
Perlu diketahui, bahwa Undang-undang Arab Saudi berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Sebagaimana tertuang dalam Nidzam al-Asasi lil-Hukm.
Di pasal ketujuh, disebutkan:
يستمد الحكم في المملكة العربية السعودية سلطته من كتاب الله تعالى، و سنة رسوله. وهما الحاكمان على هذا النظام وجميع أنظمة الدولة
“Sumber hukum pemerintahan di Kerajaan Arab Saudi dari Kitabullah Ta’ala dan Sunnah RasulNya. Keduanya merupakan hukum yang berlaku di negara dan semua sistem negara.”
Oleh karenanya Saudi menerapkan hukum Hadd, Qishash, dan Ta’zir. Hadd dan qishash diatur jelas dalam agama Islam.
Sedangkan ta’ziir, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas kejahatan atau pelanggaran yang lebih ringan dari hadd.
BACA: Hukum Cambuk Untuk Ta’zir Dihapuskan di Arab Saudi, Apa Kata Media?
Pelanggaran etika pun diatur dalam Dzauq ‘Aam yang berlaku bagi siapa saja yang tinggal di Arab Saudi.
BACA: Daftar Peraturan Adab di Tempat Umum dan Ancaman Sanksi Bagi Pelanggarnya
Jika demikian, jelas hukuman apa yang diterapkan bagi praktek prilaku seks menyimpang dan publikasi yang bertentangan syari’at Islam.
National Committee for the Legalization of Ethical Content for Information Technology
Sebagai bentuk perlindungan bagi warganya, Arab Saudi telah membentuk komite yang khusus mengatur konten moral dan informasi di semua media (tradisional dan elektronik).
Komite ini telah berdiri hasil dari Resolusi Kabinet No. 51 tahun 06/02/1435, melibatkan 13 kementerian dan lembaga pemerintah, yang diketuai oleh Presiden General Authority for Audiovisual Media.
Komite ini mengarahkan masyarakat dalam membuat, menerbitkan, atau mempromosikan materi dan data terkait jaringan pornografi atau aktivitas yang melanggar moral masyarakat.
Di antaranya mengingatkan melalui SMS ke ponsel warga terkait ancaman pelanggaran di media, seperti ancaman penjara tidak lebih dari 5 tahun dan denda hingga 3 juta riyal, atau salah satu dari dua sanksi tersebut.
Pada tahun 2017, Otoritas Komunikasi Saudi mengumumkan bahwa lebih dari 5,5 juta tautan internet diblokir, karena melanggar peraturan.
“Persentase tautan pornografi mencapai 91,4% dari total tautan yang diblokir,” menurut otoritas tersebut dalam siaran pers, sebagaimana dikutip Okaz.
Pihak otoritas sangat gencar melakukan pemberantasan pornografi dan eksploitasi anak, baik itu internet maupun sarana teknologi lainnya.
Data resmi mencatat bahwa tingkat penetrasi pelanggaran etika di internet Arab Saudi, mencapai 46,8% pada akhir tahun 2016.
Klaim Netflix dan Tuduhan Sepihak Media
Beberapa media dalam beberapa hari terakhir secara serampangan menuduh kebijakan Saudi yang mengizinkan pemutaran film porno, berdasarkan dari pengakuan co-CEO Reed Netflix, Reed Hastings di CNN.
Pengakuan dan tudingan media tersebut, jelas tidak memiliki dasar dari hukum Saudi, sekaligus bertentangan dengan adat tradisi masyarakatnya.
Selain itu, otoritas yang berwenang di Arab Saudi cukup aktif menyerap laporan masyarakat jika ada hal yang meresahkan.
Peran netizen Saudi selama ini cukup efektif melaporkan prilaku yang menyimpang yang ditampilkan secara umum. Sudah banyak contohnya.
Jadi, sangat mengherankan jika film porno, LGBT, hedonis, dan yang sejenis dilegalkan dan luput dari pantauan masyarakat.[]
*) Ditulis oleh Abdullah, WNI di Arab Saudi