Media di Tanah Air kembali menulis berita tentang Arab Saudi dengan hanya bermodal terjemahan dari media Barat (baca: kafir). Kali ini “Arab Saudi dikabarkan meningkatkan operasi penangkapan warganya yang berkomentar mengenai konflik Gaza dan Israel. Warga yang menghujat dan berkomentar anti-Israel juga ditangkap.”
Perlu diketahui, Dewan Pers telah mengesahkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Indonesia melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Pengesahan ini dihadiri dan disetujui sebanyak 29 organisasi kewartawanan. KEJ yang berlaku sekarang terdiri dari 11 Pasal, yang mengatur etika wartawan Indonesia untuk menjalankan profesi dalam rangka menghasilkan produk jurnalistik berkualitas.
Salah satu pasal krusial dalam KEJ yakni Pasal 3, yang menyaratkan wartawan senantiasa menguji informasi, menyajikan dengan berimbang, tidak mencampuradukkan fakta dengan opini yang bersifat menghakimi, serta meimplementasikan asas praduga tak bersalah.
Dengan penafsiran, sebagai berikut:
- Melakukan penguji informasi berarti melakukan pemeriksaan ulang atau check and recheck atas kebenaran suatu informasi.
- Disajikan secara berimbang bermakna memberikan kepada para pihak dengan proporsional ruang atau waktu untuk pemberitaan.
- Berita dengan opini yang menghakimi yakni terdapat pendapat pribadi wartawan penulis berita. Opini seperti ini dibedakan dengan opini interpretatif, yakni wartawan menginterpretasikan fakta berupa pendapat.
- Asas praduga tak bersalah yaitu suatu prinsip dalam menyajikan berita dengan tanpa menghakimi orang.
Apabila salah satu dari keempat unsur tersebut tidak dipatuhi, maka suatu berita dapat dikatakan terindikasi melanggar KEJ.*
Arrahmah.id misalnya, hanya mengutip satu sumber “menurut Bloomberg;” tidak ada check and recheck atau cover both sides. Memaksakan opini yang menghakimi juga tercermin dari tulisan media senada: “Sejumlah penangkapan itu disebut bertujuan untuk mencegah warga Arab Saudi berkomentar mengenai kondisi Gaza yang mungkin bisa membahayakan keamanan nasional.”
Padahal tidak ada sama sekali terjadi di Arab Saudi seperti yang ditulis oleh media pembeo Barat tersebut. Semua media yang menulis berita di atas, tidak mengindahkan KEJ alias etika jurnalistik telah mati dipendam di bawah kepentingan masing-masing.
Dalam hal keberimbangan berita, tidak ada satupun media berusaha mengkonfirmasi ke Arab Saudi, tetapi berlindung dengan kalimat “disebut,” “Sebuah sumber,” sebagai cara menghindari konfrontir, untuk melindungi kedustaannya.
Menanggapi Sumber Berita Bloomberg
Salman Al-Ansari, seorang komentator politik Saudi, penulis, dan pembicara publik, yang sering menjadi tamu di CNN, BBC, dan France24 merespon atas apa yang ditulis Bloomberg:
“Saya terkejut melihat Bloomberg tampaknya mengalami penurunan kualitas dan integritas dalam liputannya di Timur Tengah. Seluruh laporan yang menggelikan ini penuh dengan kebohongan, pernyataan tidak berdasar, dan tidak memiliki bukti apapun.
Apakah tim editorial senior di Bloomberg di NYC menyadari agensi PR dan “negara” mana yang berada di balik laporan ini? Saya siap memberi tahu mereka.”
Tetapi sampai saat ini pihak Bloomberg yang ditantang tersebut belum mencoba menghubungi Al-Ansari. Meski demikian, netizen di Arab Saudi mengamini Al-Ansari dengan menolak apa yang ditulis Bloomberg:
Netizen @formatiomystico mengatakan: “Hal ini sudah terjadi sejak lama, terutama dari Bloomberg, Economist, NYT, dan WSJ. Mereka adalah sumber kepalsuan seperti biasa, sambil hanya membicarakan uang.”
@OldEngineer91 menambahkan: “Orang-orang di Bloomberg harus berpegang pada keahlian mereka: data pasar dan berita bisnis dan pasar langsung. Ketika mereka terjun ke dunia politik, mereka jelas punya agenda.
Semua analisis dan komentar mereka, baik secara bisnis atau lainnya, bahkan tidak layak untuk diakui. Abaikan saja.”
Komentator dan penulis politik Amerika, Thomas Friedman mengatakan bahwa Kerajaan Arab Saudi dan pemerintahan Biden telah menyelesaikan 90% perjanjian bersama.
Namun bagian lain dari perjanjian tersebut, yang dipandang penting untuk mendapatkan dukungan di Kongres, adalah agar Kerajaan Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel dan hal ini tidak akan terjadi kecuali Israel menyetujui persyaratan Riyadh: Israel Keluar dari Gaza, membekukan pembangunan pemukiman di Tepi Barat, dan memulai “jalan” yang terikat waktu untuk mendirikan negara Palestina.
Akibat penolakan Netanyahu sejauh ini, Amerika Serikat dan Arab Saudi sedang mempertimbangkan untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut dan menyerahkannya ke Kongres dengan syarat Saudi menormalisasi hubungan pada saat Israel memiliki pemerintahan yang siap untuk melaksanakan persyaratan tersebut.
Baca sikap Arab Saudi yang konsisten atas Israel: https://saudinesia.id/?s=israel+saudi
* Jurnal_Pekommas_Vol.8_No._1,_Juni_2023:_95–_106