Akan tetapi, mengingat akibat-akibatnya bagi Kerjaan-kerajaan Jawa, ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Pemerintah Belanda. Oleh Belanda orang-orang itupun diusir kembali ke tanah Arab. (Gerakan Wahabi Di Indonesia: Penggerak Anti Penjajahan Bagian 1)
Akan tetapi, di tahun 1801 M, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang, bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurahman Piabang (Lubuk Lampuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan pengikut. Di antara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang dan Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya, gerakan mereka itu meluas dan melebar sehingga terbentuklah kaum Paderi yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Terjadilah perang paderi yang terknal itu. Selama 37 tahun melawan penjajahan Belanda.
Bilamana di dalam abad ke-18 dan 19 gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad ke-20 mereka muncul lagi.
Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai Kaum Muda. Di Jawa datanglah K.H.A Dahlan dan Syekh Ahmad Sooekarti.
K.H.A Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Syekh Ahmad Sookarti dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika ia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu ar-rabithah Alawiyah dan al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang kemudian membentuk ar-rabith Alawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku untu mengkafirkan Wahabi. Bahkan ada di kalangan ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri paham ini adalah keturunan Musailaamah al-Kadzdzab.
Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermadzhab Hambali, tetapi paham itu juga dianut oleh pengikut Madzhab Syafi’i, sebagaimana kaum Wahabi Minangkabau, dan juga penganut Madzhab Hanafi sebagaimana kaum Wahabi di India.
Sekarang, Wahabi dijadikan kembali sebagai alat, untuk menekan semangat kesadaran Islam oleh beberapa golongan tertentu, yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran Wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno dalam surat-suratnya dari Endeh kelihatan bahwa pahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengadung anasir Wahabi.
Kaum komunis Indonesia telah mencoba mengimbulkan sentiman umat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi.
Padahal seketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai Raja Wahabi Ibnu Saud, yang dapat mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekah. Umat Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925 M). Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekah, yaitu H.O.S Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur, dan Haji Agus Salim datang ke Mekah tahun 1927 M.
Karena pada tahun 1925 M dan tahun 1926 M itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, masih banyak orang yang mengenangkan, bagaimana hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, atau dari umat Islam sendiri yang ikut benci kepada Wahabi karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan ulama-ulama pengikut syarif.
Sekarang, pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut Wahabi dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang. Mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang sehingga gambar-gambar figur nasional, Teuku Imam Bonjol dan K.H.A Dahlan diturunkan dari dinding, dan mungkin perkumpulan-perkupulan yang memang nyata kemasukan paham Wahabi sebagaimana Muhamadiyah, al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.
Kepada orang-orang yang membangkit-bangkitkan bahwa pemuka-pemuka Islam dari Sumatra, yang datang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari Sumatra itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Sebab kepada mereka telah diberikan kehormatan yang begitu besar.
Sungguh demikian, paham Wahabi bukanlah paham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Masih banyak yang tidak megnanut paham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah SWT dan anti kepada segala macam penjajahan, termasuk komunis adalah anutan dari mereka bersama.[]
*) Dinukil dari buku “Dari Pembendaharaan Lama Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara,” hal. 214 – 216, karya Prof. Dr. Hamka, Cetakan pertama, Penerbit Gema Insani.