bilboard desktop umrah oleh: bilboard desktop umrah
promo: bilboard desktop umrah

Free Palestine: Diplomasi Saudi Yakin Berhasil Mencapai Apa yang Gagal Dicapai Selama 50 Tahun Cara Memperjuangkan Palestina

Free Palestine: Diplomasi Saudi Yakin Berhasil Mencapai Apa yang Gagal Dicapai Selama 50 Tahun Cara Memperjuangkan Palestina

Selama 18 bulan terakhir, Riyadh memberikan pelajaran diplomasi yang matang. Alih-alih menghabiskan energi untuk mengirim pasukan, Arab Saudi memilih pendekatan yang sabar dan bertahap.

Di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman dan diplomasi langsung Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan, Kerajaan menerapkan strategi yang didasarkan pada pragmatisme ketat: payung strategis yang diberikan Washington kepada Israel tidak bisa dihentikan dengan pidato-pidato berapi-api atau badai di media sosial.

Alih-alih membuang energi untuk mengirim pasukan, Arab Saudi memilih pendekatan sabar dan bertahap, secara perlahan mencabut aura legitimasi Barat yang mudah bagi Israel, sampai perhitungan politik di ibu kota negara-negara G7 mulai berubah. Ini mungkin tampak lambat, tetapi dalam dunia yang sering memuliakan kebisingan, begitulah pengaruh sejati dibangun.

Bilboard News Detail
Promo

Inti dari pendekatan ini adalah pemahaman realistis akan batas-batas kekuatan, dikombinasikan dengan penggunaan cermat alat-alat tekanan.

Saudi tidak mengklaim bisa memaksa negara adidaya tunduk, tapi mempertahankan stabilitas pasar minyak dan menghindari aksi militer — langkah-langkah yang memberikan akses tenang ke tempat-tempat yang paling penting: lingkaran diplomatik, parlemen, dan ruang dewan perusahaan yang membentuk kebijakan terhadap Israel.

Para pengkritik salah besar jika menafsirkan sikap hati-hati ini sebagai kelemahan. Justru ini mencerminkan kebijaksanaan yang lebih dalam: puluhan tahun aksi-aksi teatrikal sembrono hanya membawa kekacauan ke kawasan. Riyadh menyadari bahwa moderasi, bukan provokasi, yang menghasilkan hasil berkelanjutan.

Usaha membangun aliansi dimulai di Paris, di mana Prancis — yang ingin memainkan peran penting di Timur Tengah — menemukan pilar regionalnya di Arab Saudi. Kemudian diikuti oleh London yang merespons kemarahan publik atas Gaza, lalu Ottawa yang takut terisolasi di antara negara-negara G7.

Setiap pengakuan atas negara Palestina mungkin bersifat simbolik, tetapi simbolisme itulah yang menopang citra yang telah lama dibangun Israel sebagai ‘demokrasi Barat yang sah’. Setiap retakan pada citra itu meningkatkan biaya moral jangka panjang dari pendudukan dan membuatnya menjadi bagian dari perhitungan strategis Israel.

Momentum tenang ini tercermin dalam jajak pendapat: dukungan publik AS terhadap operasi Israel di Gaza telah menurun drastis, terutama di kalangan pemilih di bawah usia 40 tahun. Demografi adalah takdir.

Riyadh memainkan permainan jangka panjang — bertaruh pada waktu, bukan emosi, untuk membongkar konsensus lama Amerika. Konsensus itu sudah mulai luntur di kampus-kampus, legislatif, dan ruang rapat perusahaan di Eropa dan AS yang semakin sadar terhadap risiko boikot.

Taktiknya jelas: menjaga sorotan tetap tertuju pada Gaza, mencegah alasan bagi AS untuk menarik diri, dan membiarkan pemilih AS menanggung beban moral dan politiknya.

Putra Mahkota menyampaikan posisi Kerajaan dengan tegas dalam pidatonya di Dewan Syura: Tidak akan ada pengakuan terhadap Israel tanpa negara Palestina yang berdaulat. Ini bukan kebangkitan kembali kebijakan embargo minyak tahun 1973 — yang dalam dunia sekarang hanya akan mempercepat diversifikasi Barat dan mengurangi pendapatan Arab.

Umrah Anti Mainstream
Promo

Sebaliknya, Riyadh menjaga stabilitas pasar sambil membekukan integrasi regional Israel sampai Israel serius dalam menyelesaikan solusi dua negara. Ini membuat konsumen global tetap tenang — dan Israel tetap waspada.

Suara-suara harokah dan sebagian kelompok di dunia Arab yang menyerukan boikot, embargo, atau perang telah salah membaca sejarah dan realitas saat ini. Kekuatan hari ini terletak pada penggunaan pengaruh di titik-titik tekanan — bukan dalam slogan-slogan dari atas mimbar.

Diplomasi Saudi telah memaksa negara-negara demokrasi Barat untuk mempertimbangkan kembali secara serius isu negara Palestina. Dalam 18 bulan, telah dicapai apa yang gagal dicapai oleh pidato dan konferensi selama 50 tahun.

Tugas kini ada pada ibu kota Arab lainnya untuk memperkuat pendekatan ini, dan mengukuhkan pengaruh daripada menyia-nyiakannya dalam aksi-aksi teatrikal.

Benar, Israel masih memiliki hak veto AS — untuk saat ini. Tetapi tidak ada veto yang bisa menghentikan perubahan demografi di negara bagian-negara bagian AS yang menentukan pemilu, atau tekanan diam-diam dari anggota parlemen Inggris yang mendengarkan pemilih mereka, atau pertimbangan ekonomi dari perusahaan-perusahaan Eropa yang menghadapi risiko boikot.

Seiring waktu, Israel akan dihadapkan pada pilihan yang jelas: pengepungan abadi dan isolasi yang meningkat, atau hidup berdampingan dengan tetangga Palestina yang berdaulat. Hari ini, Arab Saudi memegang kunci pintu tersebut — dan tetap menjadi satu-satunya jalur diplomatik nyata bagi Ramallah. [Muhammad Abyan Arrazi]

Sumber tulisan: Common Space EU