Umrah Ramadan oleh: Haji Tanpa Antri Bilboard Dekstop
promo: Haji Tanpa Antri Bilboard Dekstop

Di Arab Saudi, Semua Orang Bisa Dipenggal Kepalanya!

Di Arab Saudi, Semua Orang Bisa Dipenggal Kepalanya!

Dalam sepekan terakhir ramai berita eksekusi mati seorang ekpsatriat Indonesia asal Bangkalan, Madura, Jawa Timur bernama Muhammad Zaini Misrin pada Ahad (19/3). Selain berita yang berusaha menyajikan fakta dan data yang terjadi, sebagian media melaporkan usaha pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Duta Besar RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel.

Yang tak kalah menariknya, beberapa liputan berita juga memuat opini pribadi atau lembaga pemerhati perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, seperti yang paling tersohor Migrant Care.

Ada kecenderungan media dan pengamat lebih semangat mengamati dan menilai nasib warga Indonesia di Arab Saudi daripada di negara lain yang jauh ancamannya lebih tinggi. Dari catatan Migrant Care, ada 117 TKI di Malaysia terancam hukuman‎ mati, 27 TKI di Tiongkok, 21 TKI di Arab Saudi, dan masing-masing satu TKI di Qatar dan Singapura (Okezone, 21/3).

Kuota Haji Dalam Negeri
Promo

Hukum pancung, sebagaimana yang sudah diketahui berlaku di Arab Saudi, dapat dikenakan kepada siapa saja yang terbukti membunuh sebagai penegakkan qishash, sebagai hukuman pembalasan sesuai yang dilakukan. Hanya saja, sebagian media dan sekelompok orang selalu gagal paham terkait hukum yang berlaku di Arab Saudi ini.

Pemutarbalikan Fakta Oleh Media

CNN Indonesia, menuliskan:

Agus mengatakan Presiden Joko Widodo telah melayangkan surat sebanyak dua kali kepada Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz untuk meminta penundaan eksekusi dan peninjauan kembali kasus Zaini. Namun, permintaan itu tidak digubris otoritas Saudi.

Padahal, Dubes RI, Agus Maftuh Abegebriel, dalam wawancara di Metro TV, dengan jelas dan terbuka menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Presiden Joko Widodo, yang telah melakukan extraordinary action dengan mengirim surat dua kali ke Raja Salman.

Agus mengatakan mulai menit ke 7:55, “…. dan dua surat ini mendapatkan respon yang sangat-sangat positif dari Khadimul Haramain asy-Syarifain.”

Bentuk dari respon positif yang dimaksudkan Agus, adalah, “pertama, Zaini Misrin ditangguhkan sampai 6 bulan. Dan nota yang kedua, diberikan waktu dua bulan agar kita melakukan komunikasi dengan para keluarga korban, yaitu Abdullah Al-Sindi, seorang warga negara Saudi keturunan India.”

Dalam kasus “nyawa dibayar nyawa” yang berlaku di Saudi, jika seseorang telah divonis hukuman mati sebagai qishas, maka pintu maaf hanya dapat dibuka oleh ahli waris korban, bukan oleh siapapun, hatta seorang raja sekalipun.

Selain itu, ahli waris juga dapat menuntut pelaku pembunuh keluarganya dengan uang diyat (uang tebusan). Jika ahli waris tidak memaafkan pelaku atau menuntut diyat, maka proses qishas tetap berjalan. Bahkan, Raja Arab Saudi pun tidak bisa menghalangi proses tersebut.

Promo

Proses peradilan dan pembuktian untuk dijatuhkan vonis hukuman mati tak jarang memakan waktu cukup lama dan dilakukan dengan sangat hati-hati agar seseorang tidak dihukum karena kezaliman. Karena itu terkadang seseorang diadili dan dijatuhi vonis setelah melewati proses peradilan bertahun-tahun. Kasus Zaini pun mulai diperkarakan sejak 14 tahun lalu, tepatnya 13 Juli 2004.

Penggiringan Opini

Masih dari kanal CNN Indonesia, dituliskan:

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengecam eksekusi mati Zaini dan mendesak pemerintah RI segera menindaklanjuti langkah Saudi yang dianggap melanggar hak asasi manusia tersebut.

Hak asasi manusia (HAM) yang mana yang dimaksud Anis? Jika yang digunakan versi Barat, sudah ma’ruf, bagaimana standar ganda HAM yang selalu berpihak untuk kepentingan tertentu. Jika Anis mau merujuk ke HAM agama Islam, yang digunakan sebagai dasar hukum di Arab Saudi, maka pernyataannya justru yang bertentangan dengan HAM.

Menurut hukum Islam yang berlaku di Arab Saudi, ada tiga jenis kejahatan (jinayah) yang menyebabkan seseorang dapat dihukum mati, yaitu;

Pertama, karena hukuman hadd. Ketentuan tentang hadd sudah tertulis jelas di dalam Al-Qur’an maupun hadits.

Kedua, karena qishash, yaitu hukuman setimpal, kejahatan pembunuhan disengaja harus dibalas dengan hukuman bunuh (mati).

Ketiga, karena ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan berdasarkan kebijakan negara atau peradilan, hukumannnya bervariasi dari yang terendah hingga hukuman mati.

Hukum yang berlaku di setiap negara dipastikan berbeda, maka istilah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” perlu diperhatikan agar tidak bermudah-mudahan seseorang mengstigma sesuatu mengatasnamakan HAM.

Setidaknya tanggapan Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla, menjawab Direktur Eksekutif Migrant Care di atas, “Kalau orang berbuat salah maka berlaku hukum setempat, sama juga di Indonesia, jangan lupa, kita tidak bisa asal marah saja, kita juga (menerapkan) hukum mati,” jelas Jusuf Kalla.

Usaha Pemerintah RI Melindungi Warganya dari Hukuman Mati di Arab Saudi

Pemerintah RI sebagaimana yang dijelaskan Dubes RI, Agus Maftuh Abegebriel, mengakui bahwa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Riyadh maupun Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, tidak menerima notifikasi sejak awal kasus Zaini bergulir (2004) hingga akhirnya divonis hukuman mati (2018). 

Agus dalam penjelasannya, menyayangkan tidak adanya pemberitahuan dari pemerintah Arab Saudi, meskipun tidak ada keharusan menurut hukum internasional, adanya notifikasi tersebut. Namun, hanya permasalahan komunikasi hubungan bilateral kedua negara, yang diklaim Agus, sebagai masa keemasan hubungan Arab Saudi dan Indonesia dalam bingkai “Saunesia.”

Dalih tidak adanya pemberitahuan tersebut, memancing media online “Dream”, berkesimpulan bahwa “eksekusi yang dilakukan terhadap Misrin tak tepat secara prosedur.” Padahal Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Sapto Prabowo, hanya mengatakan “Ini tidak dilakukan sebagaimana mestinya.”

“Tidak sebagaimana mestinya,” bukan berarti “tidak tepat secara prosedur” menurut hukum nasional Arab Saudi maupun dunia internasional. Perwakilan RI di Arab Saudi di atas, telah memaklumi dan menuntut sebatas hubungan bilateral antar dua negara.

Pendiskreditan Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi 

Kasus hukuman mati Zaini juga dijadikan amunisi baru bagi sebagian orang untuk menuduh pemerintah RI karena tidak melindungi warganya di luar negeri. Yang tak luput dari sasaran, Arab Saudi pun didiskreditkan karena sampai hari ini tetap menegakkan qishash, sebagai hukum Islam yang berlaku di negaranya.

Agus Maftuh Abegebriel menanggapi pertanyaan tentang langkah apa yang dilakukan pemerintah RI pasca hukuman pancung Zaini, menjelaskan: “Kami akan melakukan himayah dan proteksi terhadap warga Indonesia di Arab Saudi, yang sering saya sebut sebagai ekspatriat Indonesia. Karena kehadiran diplomat Indonesia di Arab Saudi ini, baik di KBRI atau KJRI, bahwa kami adalah siap memberikan pelayanan yang terbaik bagi saudara-saudara saya, para ekspatriat Indonesia, terutama para ekspatriat yang kurang beruntung, yang menghadapi masalah. yang ada musykilah baik terkait masalah kekonsuleran atau masalah2-masalah yang lain.”

Agus melanjutkan, “jadi saya yakin ini tidak akan mengganggu hubungan Saudi dan Indonesia. Saudi dan Indonesia adalah bangsa yang besar dan cukup dewasa. Apalagi Zaini Misrin, kasusnya sudah 2004, sudah 14 tahun yang lalu dan baru dieksekusi sekarang, setelah kami melakukan upaya hukum. Sebuah upaya hukum yang tidak pernah ada dalam sejarah bilateral Saudi dan Indonesia, yaitu KJRI dan KBRI melakukan upaya hukum ‘iadatul nazar, yaitu peninjau kembali terhadap kasus yang dihadapi oleh sahabat saya, Zaini Misri Arsyad di tahun 2004.”

Kira-kira, bantuan hukum apalagi yang diharapkan oleh para komentator, terutama sebagian orang yang getol mengecilkan peran dan usaha pemerintah RI di luar negeri.

Agus pun menyampaikan tentang usaha advokasi kepada pihak keluarga korban Abdullah Al-Sindi. “Kami agak kesulitan untuk untuk memberikan, melakukan komunikasi dengan keluarga Abdullah Al-Sindi, karena keluarga ini tidak ada kabilahnya, sehingga cara-cara yang biasa kami tempuh dengan melakukan pendekatan terhadap kabilah di Saudi ini, mengalami jalan buntu, pintu maaf dari keluarga Abdullah Al-Sindi sudah tertutup.”

Adapun pemerintah atau Raja Arab Saudi, sama sekali tidak memiliki kewenangan mengitervensi hak keluarga korban, ahli waris sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, sebagai konsekuensi hukum qishash.

Perlu diketahui, berikut di bawah ini beberapa tindak kejahatan yang akan terancam hukuman mati di Arab Saudi, di antaranya:

  1. Perzinaan yang dilakukan oleh mereka yang terikat perkawinan.
  2. Murtad dari agama Islam.
  3. Pembunuhan Disengaja (baik berencana maupun tidak).
  4. Pemerkosaan
  5. Perampokan (yaitu mengambil hak orang lain secara paksa dengan ancaman senjata).
  6. Penculikan.
  7. Penghinaan / Pelecehan terhadap Agama Islam.
  8. Pembajakan pesawat terbang.
  9. Penyelundupan Narkotika.
  10. Homoseksual.
  11. Menyembah berhala.
  12. Perdukunan dan sihir.
  13. Terorisme
  14. Makar atau provokasi massa untuk melakukan kerusuhan.
  15. Pengkhianatan terhadap negara.

Yang penting diperhatikan pula, selama ini penegak hukum Arab Saudi tidak “tumpul ke atas, tajam ke bawah” dalam penegakan supremasi hukum, terutama hak darah. Beberapa kasus dengan vonis hukuman mati pun dilakukan terhadap keluarga kerajaan, di antaranya Putra Mahkota Turki bin Turki bin Su’ud Al-Kabir.

Menarik cuitan salah satu Putra Mahkota, Khalid Alu Su’ud, yang mengatakan melalu akun twitternya, “Ini adalah Syariat Allah dan inilah langkah negara kami yang diberkati….. Semoga yang dibunuh dan pembunuh dirahmati oleh Allah.”

Sebelum menjadi raja, Pangeran Salman bin Abdul Aziz pernah menegaskan (seperti dikutip dalam harian al-Muwathin):

 حكم الشرع يُنَفّذ على الجميع بلا استثناء، ولا فرق في ذلك بين كبير أو صغير؛ فالقوي أمام الشرع ضعيف حتى يؤخذ الحق منه، والضعيف قوي حتى يؤخذ الحق له، وليس لأحد التدخل فيما حكم به القضاء، وهذا نهج هذه الدولة، وما ندين الله تعالى به، ونأتمر به، وإن الدماء معصومة إلا بحقه

Hukum syariat harus ditegakkan atas semua orang tanpa terkecuali. Tidak ada perbedaan antara orang besar dan kecil, antara yang kuat dan lemah, semua sama di depan hukum syariat. Orang lemah adalah kuat ketika haknya di ambil. Dan tidak seorang pun boleh intervensi terhadap keputusan pengadilan, inilah aturan di negara ini, ini lah yang diajarkan agama Allah kepada kita, kita diperintahkan untuk menegakkan itu. Bahwa nyawa setiap orang harus dilindungi dan tidak boleh diambil kecuali dengan haqq“.

*) dirangkum dari berbagai sumber