Umrah Plus September oleh: Umrah Plus September
promo: Umrah Plus September

Liburanku di Arab Saudi: “Negara paling Kontroversial di Dunia”

Liburanku di Arab Saudi: “Negara paling Kontroversial di Dunia”

Pandangan saya sangat berubah selama perjalanan ke Arab Saudi, sampai saya sudah mulai merencanakan kunjungan berikutnya!

Ringkasan perjalanan penulis Lisa Grainger ke Arab Saudi yang dimuat surat kabar The Sunday Times.

Melihat dari lereng Gunung Umm Nasser yang dipenuhi lava vulkanik di atas padang pasir Arab Saudi, sulit dibayangkan bagaimana para pelancong dahulu bisa bertahan di kawasan yang gersang dan panas ini. Padahal ini masih bulan Maret, tetapi suhu sudah mencapai 36 derajat Celsius, dan dinding batu memancarkan panas seperti oven raksasa.

Bilboard News Detail
Promo

Saya merasa sejuk dan nyaman karena berbaring di samping kolam renang hotel kecil, dengan tenang membaca kisah-kisah pelancong yang dulu tidak memiliki kemewahan berenang di air tawar yang disalurkan lewat pipa dari Laut Merah sejauh 125 mil.

Sampai tahun 2019, visa masuk ke Arab Saudi sebagian besar hanya diperuntukkan bagi jemaah umrah dan haji, pebisnis, dan pekerja asing.

Tak heran saya ragu bertahun-tahun untuk mengunjungi Saudi. Namun, negara ini berubah, sebagaimana ditegaskan oleh teman-teman saya yang berbahasa Arab dan sudah lebih dari 20 kali mengunjunginya. Perubahan ini sebagian didorong oleh misi Pangeran Mahkota Muhammad bin Salman untuk memodernisasi negara dan mengalihkan ketergantungan ekonomi dari minyak menuju pariwisata.

Saat saya tiba di Riyadh, perubahan itu langsung tampak. Infrastruktur yang didanai negara terlihat sangat baru, mulai dari pusat perbelanjaan, hotel, hingga terminal bandara berlantai marmer yang berkilauan dan jalan raya bertingkat.

Pusat perbelanjaan modern menampilkan merek Barat seperti Tom Ford hingga Dunkin Donuts yang sangat populer di sini. Hotel-hotel mewah pun hadir, seperti Four Seasons di gedung tertinggi kota, Mandarin Oriental karya Norman Foster, hingga St. Regis.

Selama dua hari bersama seorang teman lokal yang tahu seluk-beluk Riyadh, saya menjelajah sisi lama dan baru kota ini. Hari pertama saya berjalan menyusuri Benteng Masmak yang dilapisi lumpur emas, bekas markas keluarga Al-Saud, berjalan di Lapangan Dira, dan mengunjungi Museum Nasional.

Di kota tua Diriyah yang dikelilingi dinding lumpur, ambisi dan skala Visi 2030 yang digagas Muhammad bin Salman mulai tampak. Sejak At-Turaif masuk daftar Warisan Dunia UNESCO pada 2010, peninggalan bersejarah Diriyah direstorasi, dan kini menjadi labirin bangunan kuno dan museum yang terlihat autentik.

Saat matahari terbenam, ribuan warga Saudi berkumpul: kelompok wanita; pasangan menikmati mocktail di meja berpenerangan lilin; keluarga berjalan di bawah pohon kurma yang dihiasi lentera. Rasanya seperti berada di Covent Garden, tapi tanpa orang mabuk.

Keesokan harinya di Al-Ula, dua jam ke arah barat laut bersama pemandu, saya merasa seolah kembali ke masa lalu. Tak hanya karena kota tua ini berdiri sejak 6 SM di jalur perdagangan dupa dari Jazirah Arab ke Mesir dan Mesopotamia, tapi juga karena di sekelilingnya terdapat tebing-tebing dengan lebih dari seratus makam Nabatea, pahatan megah, ukiran kuno, dan lembah yang penuh dengan lukisan batu seperti perpustakaan terbuka raksasa.

Umrah Bersama Kami
Promo

Baru belakangan ini hadir hotel-hotel bergaya Barat. Dalam 3 hari saya menginap satu malam di tiap dari tiga hotel mewah di sana, dan menghitung sekitar 50 turis asing lainnya dari perempuan Rusia muda di Banyan Tree, hingga pecinta sejarah yang mengenakan linen. Mayoritas mereka adalah anak muda, petualang kelas atas, yang mendaki bukit, bersepeda, flying fox, dan menjelajahi karya seni di Desert X.

Saya berlinang air mata. Bukan hanya karena kebaikan hati orang-orang selama perjalanan saya, tapi juga karena ucapan pemandu yang tiba-tiba saya ingat.

Dia berkata: “Saya paham kenapa orang mengira kami semua teroris setelah 11 September. Tapi saya harap Anda sadar bahwa itu tidak benar. Kami punya budaya yang kaya, rakyat yang ramah, dan pemimpin yang sedang berusaha mengubah segalanya demi generasi mendatang, insya Allah.”

Pandangan saya berubah drastis hingga saya mulai merencanakan perjalanan selanjutnya. Bukan dengan teman-teman saya yang tak bisa liburan tanpa alkohol, tapi dengan para pelancong penasaran yang ingin menjelajah Pegunungan Hijau Abha, menyelam di Laut Merah, dan bertemu perempuan-perempuan ceria di Jeddah.

Mungkin saya akan berkemah. Katanya orang Saudi gemar berpetualang ke gurun. Kini ada banyak lokasi indah untuk disinggahi. Satu malam di bawah bintang di Rub’ al Khali… itulah impian saya berikutnya. [manda]