Arab Saudi adalah salah satu negara terdepan dalam memerangi terorisme dan pendanaan terhadap terorisme (terrorist financing).
Arab Saudi juga bekerjasama erat dengan sekutunya dalam memburu para pelaku dan pendana terorisme, memotong suplai keuangannya, serta menghancurkan pemikiran yang menjadi dasar dari pergerakan organisasi-organisasi teror.
Arab Saudi Sebagai Target Teror
Banyak yang salah sangka bahwa Arab Saudi-lah yang menyokong terorisme di dunia.
Namun kenyataannya, justru Arab Saudi adalah target terorisme yang paling utama dari kelompok-kelompok seperti ISIS dan sebagainya.
Saudi telah mengalami lebih dari 60 serangan teroris dari ISIS dan Al-Qaeda, dengan lebih dari 25 serangan sejak 2015.
Saudi adalah target utama dari Daesh (ISIS) dan kelompok-kelompok lainnya karena Saudi adalah tempat kelahiran dari Islam dan tempat dari Dua Masjid Suci.[1]
ISIS (Daesh) melihat pemerintahan Saudi sebagai musuh yang tidak Islami, yang terlalu dekat dengan Barat.[2]
Saudi juga memiliki perbedaan ideologis dengan ideologi yang diusung oleh para teroris (ideologi Khawarij) serta aktif dalam melawan ideologi teroris tersebut sejak pendirian Kerajaan pertama kalinya bahkan di abad ke-18 saat masa Kerajaan Saudi Pertama.
Saudi juga berpegang kepada perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memerangi sekte Khawarij, seperti ISIS, Al-Qaeda, dan sebagainya.[3]
Upaya Saudi Melawan Teror
Dalam melawan terorisme, secara umum upaya Saudi digolongkan kepada tiga, yaitu melawan orang-orangnya (The men, combatting terrorism), memutus pendanaannya (The money, combatting terror financing), dan pemikirannya (The mindset).
Untuk menghadapi para pelaku terror, Saudi telah dan tengah melakukan beragam upaya untuk mengatasinya, termasuk mencari dan mengatasi teroris-teroris di dalam Kerajaan.
Berikut beberapa upaya Saudi dalam melawan pelaku teror:
- Saudi adalah anggota dari Global Coalition to Counter ISIS, dan terhitung Maret 2017 Saudi telah menerbangkan 341 sortie pesawat untuk melawan ISIS di Suriah, yang merupakan jumlah terbesar setelah sortie Amerika Serikat.
- Pada Desember 2015, Saudi mengumumkan pendirian Islamic Military Counterterrorism Coalition untuk memerangi terorisme yang berbasis di Riyadh dan kini terdiri dari 41 negara anggota.
- King Salman membuat Presidency of State Security pada bulan Juli tahun 2017, yaitu sebuah agensi yang menggabungkan kontra-terorisme dan operasi intelijen pada satu badan dan berfungsi langsung di bawah pengawasan Raja Salman.
- Aparat keamanan Saudi telah menangkap lebih dari 300 warga negara asing sejak 2017-2019 karena keterlibatan mereka dengan aktivitas terorisme bersama ISIS. Ini menunjukkan komitmen Saudi untuk menangkap orang-orang yang berada di belakang rencana-rencana teror.
- Pada Desember 2017, Saudi menghibahkan 100 juta Dollar AS untuk menyokong G-5 Sahel Force dalam melawan terorisme di Afrika Barat.
- Pada tahun 2014, Saudi mengeluarkan Keputusan Kerajaan (Royal Decree) mengenai kontraterorisme yang mengukuhkan bahwa setiap tindak terorisme, termasuk keanggotaan di organisasi-organisasi teroris dan partisipasi dalam tindak kekerasan di luar daerah Kerajaan tidak akan diberi toleransi.
- Pada tahun 2011, Saudi menandatangani kesepakan dengan PBB untuk meluncurkan United Nations Counter-Terrorism Center. Selain dengan UNCCT, Saudi juga telah membuat workshops mengenai Resolusi-Resolusi Dewan Keamanan PBB melalui Komite Antiterorisme Dewan Keamanan. Kerajaan juga bekerjasama erat dengan UN Office on Drugs and Crime dan UN Monitoring Team dalam inisiatif-inisiatif ini.
- Saudi berkomitmen penuh terhadap implementasi seluruh Resolusi DK PBB berkenaan anti-terorisme, termasuk Resolusi DK PBB 1267, 1989, 1988, 1373, 2170, dan 2178. Kerajaan juga menandatangani 16 Konvensi PBB mengenai perlawanan terhadap terorisme dan pendanaannya.
- Di level regional, Saudi meratifikasi Arab Convention for the Suppression of Terrorism tahun 1998.
- Saudi adalah founding member dari Global Counterterrorism Forum, sebuah forum dari 29 negara dan Uni Eropa dalam mengantisipasi, menghadapi, dan prosekusi terhadap serangan-serangan terror.
Adapun dalam melawan pendanaan terror, berikut upaya-upaya Saudi:
- Menurut Financial Action Task Force (FATF), Saudi telah menunjukkan kemampuan dan kemauan untuk mengejar pendanaan teroris, yang tergambar dalam 1700 investigasi dan penahanan sejak 2013. Saudi mendapat status observer di FATF pada 2015.
- Saudi sekarang menjadi anggota dari organisasi sub-set dari FATF, yaitu Middle East and North Africa Financian Action Task Force (MENAFATF).
- Saudi dan AS mendirikan dan menjadi co-chair dari Terrorist Financial Targeting Center (TFTC) pada Mei 2017. Sejak pendiriannya, TFTC telah menghadapi pendanaan teroris dari beragam grup termasuk Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP), Hizbullah, dan Taliban.
- Saudi, AS, dan Italia menjadi co-chairs dari Counter ISIS Finance Group yang didirikan pada 2015.
- Saudi telah mendirikan financial intelligence unit (FIU) yang merupakan anggoa dari Egmont Group dan telah memberikan kontribusi 1 juta Dollar AS.
Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) mengharuskan seluruh institusi finansial di dalam yurisdiksi Kerajaan untuk mengimplementasikan rekomendasi berikut:
- Lembaga amal Saudi tidak bisa beroperasi di luar Saudi kecuali melalui King Salman Humanitarian Aid and Relief Centre atau Saudi Red Crescent.
- Pengumpulan dana di masjid-masjid dan tempat umum dilarang.
- Dewan Kementerian memerintahkan agar ada hadiah bagi individu-individu yang melaporkan kasus pencucian uang atau pendanaan terror.
- Memberi sanksi pada lembaga dan individu yang melakukan pendanaan teror.
- Saudi menjadi anggota dari beberapa organisasi multilateral dan global yang menghadapi isu pendanaan terror, termasuk G20, Financial Stability Board (FSB), International Organization of Securities Commissions (IOSCO), dan International Association of Insurance Supervisors (IAIS).
- Selain grup-grup di atas, Saudi juga mendukung setiap inisiatif dan upaya untuk menghadapi pencucian uang dan pendanaan teror.
Dalam menghadapi ideologi teror (mindset), Saudi melakukan upaya berikut:
- Pada bulan mei 2017, Saudi meluncurkan Global Central for Countering Extremist Ideology (Etidal), sebuah hub upaya-upaya antiteror yang berfokus pada mempromosikan budaya daring dan media yang moderat dan menghalangi penyebaran propaganda. Lembaga ini berpusat di Riyadh dan telah membuat teknik inovatif yang mampu memonitor, memroses, dan menganalisa ceramah-ceramah ekstrimis dengan akurasi tinggi.
- Kementerian Pendidikan telah merevisi buku-buku sekolahnya untuk memastikan tidak adanya bahasa yang inteloran, dan secara rutin mengaudit buku-buku serta kurikulum.
- Imam-imam yang menyebarkan intoleransi atau kebencian diberhentikan, dihukum, atau dilatih ulang.
- National Dialogue Forum of the King Abdulaziz Center for National Dialogue (KACND) didirikan pada Juni 2003 untuk membicarakan reformasi dan upaya-upaya penanggulangan pasca serangan Al-Qaeda pada 11 September 2011.
Selain itu, ideologi yang dipegang Saudi pun senantiasa menggolongkan ideologi kelompok teror sebagai ideologi sesat.
Menurut Salafisme, ideologi teror termasuk ke dalam ideologi Khawarij, yang merupakan ideologi dari sekte menyimpang yang pertama menyempal dari Islam pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan.
Bahkan, terdapat perintah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk memerangi kelompok Khawarij, karena mereka memiliki pemahaman agama yang rusak sehingga tidak membawa kebaikan dunia maupun akhirat.[4]
Oleh karena itu, tidaklah tepat anggapan bahwa Saudi adalah negeri yang mendukung terorisme, karena kenyataannya justru sebaliknya. Saudi melawan terorisme secara serius baik secara militer, hukum, finansial, dan ideologi.
Selain itu, ideologi yang diyakini Saudi pun secara asal bertolak belakang dengan ideologi yang diusung oleh organisasi-organisasi teror yang mengatasnamakan Islam seperti Daesh (ISIS), Taliban, Hizbullah, Boko Haram, dan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang pandangannya banyak dijadikan acuan di Saudi pun telah menukil adanya ijma’ (konsensus) ulama bahwa kaum Muslimin wajib memerangi kaum Khawarij setelah mereka diberi peringatan dan ditegakkan hujjah (argumentasi) terhadap mereka.
Alasannya, karena mereka telah keluar dari pemimpin yang sah dan barisan kaum Muslimin, serta mematahkan tongkat ketaatan.
Namun, tidak boleh dimutilasi mayatnya, tidak boleh dikejar yang melarikan diri dari medan perang, tidak boleh dibunuh tawanannya, dan tidak boleh dihalalkan hartanya.
Selagi mereka tidak bughat (memberontak) dan mengajak perang, maka tidak boleh diperangi, namun cukup dinasihati dan diminta bertaubat.
Kecuali kalau mereka melakukan bid’ah (inovasi terlarang dalam menambah, mengubah, atau mengurangi ajaran agama yang sudah baku) yang mukaffirah (membuatnya keluar dari Islam), maka berlaku baginya hukum murtad.[5]
Haiah Kibaril Ulama sebagai lembaga ulama tertinggi Arab Saudi juga mengeluarkan Resolusi nomor 239 tertanggal 12 April 2010 yang isinya mengharamkan dan mengecam setiap tindak terorisme dan pendanaan terhadap teror.
Dalam keputusan tersebut juga disebutkan bahwa tidak hanya tindakan teror, namun setiap tindakan mendukung terorisme dalam bentuk apapun diharamkan dan dapat dihukum secara legal.[6]
[1] Saudi Embassy, “Saudi Arabia and Counterterrorism” March 2019
[2] Saudi Embassy, “Saudi Arabia and Counterterrorism Fact Sheet: Fighting and Defeating Daesh” May 2017
[3] Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An Asilati Al-Manahiji Al-Jadidati terjemah Tim Pustaka Media Tarbiyah (Bogor: Media Tarbiyah, 2020), 179
[4] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, At-Ta’liq ‘ala As-Siyasah Asy-Syar’iyah fi Ishlah ar-Ra’I war-Ra’iyah li Syaikhul Islam Ibni Taimiyah terjemah Ajmal Arif (Jakarta Timur: Griya Ilmu, 2017), 146.
[5] Zainal Abidin bin Syamsuddin, Buku Putih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Jakarta Timur: Pustaka Imam Bonjol, 2016), 207-208.
[6] Haiah Kibaril Ulama (Council of Senior Ulema), “Resolution 239 dated 27 Rabi al-Thani 1431 H [April 12, 2010]”
*) Disadur dari skripsi Raihan Dary Henriana