Pada siang 28 Mei 1998 di Jeddah, duta besar Pakistan untuk Arab Saudi, Khalid Mahmood, mendengar kabar bahwa Islamabad telah melakukan lima uji coba nuklir bawah tanah. Ia menunggu instruksi dari kementerian luar negeri tetapi merasa perlu bertindak.
Sore itu, dia melanggar protokol dengan menghubungi Istana Kerajaan dan meminta pertemuan mendesak dengan Raja Fahd pada hari berikutnya. Tidak terduga, Raja menerima permintaan itu. Selama menunggu, Mahmood menonton laporan di televisi dan menyiapkan penjelasan.
Pada esok hari, Mahmood dibawa ke istana dengan sambutan meriah. Ia menekankan bahwa Ia tidak memberi tahu Riyadh sebelumnya tentang rencana uji coba, karena Pakistan mengambil keputusan secara mandiri. Raja Fahd, yang mengalami cedera lutut, meminta maaf karena tidak dapat berdiri menyambut tamunya.
Setelah mendengar alasan Islamabad, Raja Fahd berkata, “Kami menentang apa yang kalian lakukan karena kami anggota perjanjian non‑proliferasi. Namun kami memahami alasan kalian. Kami akan mendukung lebih dari yang kalian harapkan,” kenang Mahmood.
Uji coba Pakistan segera memicu sanksi berat dari Amerika Serikat. Berdasarkan Undang‑Undang Pengendalian Ekspor Senjata, Washington menghentikan bantuan luar negeri, menangguhkan penjualan persenjataan dan layanan pertahanan, serta menghentikan pembiayaan militer asing.
AS juga menolak kredit pemerintah, menentang pinjaman dari lembaga keuangan internasional, dan melarang sebagian besar pinjaman bank komersial. Selain itu, sejak 1990 Pakistan telah berada di bawah sanksi terkait kepemilikan perangkat nuklir. Kondisi ini membuat Pakistan terisolasi secara diplomatik. Mahmood mengaku sangat tersentuh oleh empati Raja Fahd di tengah tekanan internasional yang berat.
Keesokan harinya, Putra Mahkota Abdullah bin Abdul Aziz menggelar pertemuan lebih lama. Ia menegaskan kembali dukungan penuh Saudi kepada Pakistan. Sebagai bentuk konkret, Riyadh menjanjikan fasilitas pembelian minyak dengan pembayaran ditangguhkan selama empat tahun senilai sekitar $3,4 miliar.
Menurut Mahmood, janji minyak itu memberi Islamabad kepercayaan diri untuk melakukan uji coba kedua pada 30 Mei. Penjelasan ini selaras dengan laporan yang menyebut bahwa Saudi menawarkan 50 ribu barel minyak gratis per hari pada 1998 untuk meredam efek sanksi.
Beberapa minggu kemudian, Mahmood kembali dipanggil oleh putra mahkota. Ternyata, Presiden AS Bill Clinton berulang kali menekan Riyadh agar menarik dukungan. Namun, Abdullah menolak permintaan itu dan menegaskan bahwa hubungan Saudi‑Pakistan bersifat istimewa, demikian penuturan Mahmood. Dia mengatakan bahwa tekanan Amerika tidak mempengaruhi komitmen Riyadh terhadap Islamabad. [Muhammad Wildan Zidan]
Sumber: Arabnews