Seorang teman pernah bertanya kepadaku: apa guna mengelilingi Ka’bah? Pertanyaan ini sering muncul dari sebagian orang, dan aku menemukan jawabannya dalam buku Dialog dengan Teman Ateis karya Dr. Mustafa Mahmud.
Sebagai pengantar, perlu kita tegaskan bahwa ritual haji bukanlah khurafat atau penyembahan berhala. Sebaliknya, ia mencerminkan hukum‑hukum alam semesta, bagian dari sistem yang Allah ciptakan. Oleh sebab itu, berikut penjelasan menakjubkan yang mungkin mengubah pandangan Anda tentang tawaf mengelilingi Ka’bah.
Temanku berkata, “Tidakkah kau sadari bahwa manasik haji adalah kemusyrikan yang terang‑terangan?”
Dia menuduh kami menyentuh bangunan batu yang kalian sebut Ka’bah dan mengelilinginya. Selain itu, katanya, kami melempar syaitan dan berlari‑lari kecil antara Shafa dan Marwah. Tidak hanya itu, kami mencium Hajar Aswad, bercerita tentang tujuh putaran, tujuh lemparan, dan tujuh lari‑lari kecil—sisa‑sisa kepercayaan pada angka gaib dalam perdukunan lama.
Bahkan, katanya, kami mengenakan pakaian ihram langsung di atas kulit. Ia pun menutup tudingannya dengan ungkapan, “Maafkan keterusteranganku, tetapi ilmu harus jujur tanpa malu.”
Menanggapi dengan tenang, aku menjawab bahwa fisika justru mengajarkan hal sebaliknya. Menurut hukum materi, yang kecil selalu berputar mengelilingi yang besar. Elektron, misalnya, mengorbit inti atom. Selanjutnya, bulan bergerak mengelilingi bumi. Demikian pula, bumi mengelilingi matahari. Matahari pun beredar mengelilingi galaksi.
Bahkan galaksi kita berputar mengelilingi galaksi yang lebih besar hingga semua gerak itu bermuara pada Yang Mahabesar, yaitu Allah. Bukankah kita selalu mengucap “Allahu Akbar”, Allah Maha Besar, lebih besar dari segala sesuatu? Sadar atau tidak, kita bersama tata surya sedang bergerak mengelilingi‑Nya tanpa punya pilihan lain.
Karena itu, tidak ada sesuatu pun statis dalam kosmos selain Allah Ash Shamad. Sementara seluruh ciptaan terus mengelilingi‑Nya. Inilah hukum si kecil dan si besar yang kita pelajari dalam fisika.
Adapun kami, kami memilih mengelilingi rumah Allah. Rumah itu merupakan bangunan pertama yang manusia bangun untuk menyembah‑Nya, sehingga sejak lama ia menjadi simbol dan rumah Tuhan.
Menariknya, kalian sendiri pun mengelilingi jenazah yang kalian awetkan di Kremlin, memujanya sebagai pahlawan kemanusiaan. Seandainya kalian tahu letak makam Shakespeare, boleh jadi kalian berlomba menziarahinya lebih gigih daripada kami mendatangi Nabi Muhammad ﷺ.
Selain itu, kalian biasa meletakkan rangkaian bunga di atas tugu batu lalu menyebutnya lambang prajurit yang tak kalian ketahui. Lalu mengapa kalian mencela kami hanya karena kami melempar kerikil pada tugu simbolis yang kami yakini melambangkan setan?
Bukankah hidup kita sendiri pun seperti lari‑lari kecil: sejak kelahiran hingga kematian, kita terus bergerak. Setelah kita tiada, anak‑anak kita melanjutkan perjalanan itu. Itulah perjalanan simbolis yang sama—dari Shafa, yang berarti kejernihan atau kehampaan sebagai lambang ketiadaan, menuju Marwah, mata air yang melambangkan kehidupan.
Dengan kata lain, dari tiada menuju ada, lalu dari ada kembali ke tiada. Bukankah pola ini serupa gerak bandul bagi semua makhluk? Oleh karena itu, dalam manasik haji tersimpan rangkuman simbolis yang mendalam dari semua rahasia ini.
Tentang angka tujuh yang mungkin kau olok‑olok, ternyata penjelasan ini belum lengkap, maka aku akan meneruskan gagasan dari buku tersebut. Setelah membahas simbolisme angka tujuh, Dr. Mustafa Mahmud menambahkan beberapa pertanyaan lain. Mengapa:
- Warna‑warna utama dalam spektrum cahaya ada tujuh?
- Jumlah hari dalam sepekan ada tujuh?
- Langit ada tujuh lapis, dan bumi tujuh lapis pula?
Kenapa atom mengandung tujuh tingkat energi elektron?
Mengapa pula Allah menciptakan manusia melalui tujuh tahap—mulai dari nutfah, kemudian ‘alaqah, mudghah, tulang, dilanjutkan dengan pembalutan tulang oleh daging, disempurnakan bentuknya, lalu lahir?
Akhirnya, beliau menutup pembicaraannya dengan menyatakan bahwa angka tujuh menyimpan rahasia dalam struktur alam. Karena itu, tidak mengherankan jika angka ini muncul dalam syariat, sebab Allah menaruh hukum‑hukum‑Nya dalam alam, dan wajar bila hukum‑hukum itu tercermin dalam ibadah kita. [Muhammad Wildan Zidan]
Sumber: X/ab1hr